Kamis, 12 Juli 2012

ya

Hitler berusia 100 tahun, seandainya ia hidup terus. Tapi ia tidak hidup terus. Ia menembakkan pistol ke dalam mulutnya sendiri di hari Senin sore 30 April 1945. ia mati dalam umur 56 tahun lebih 10 hari, ketika kota Berlin dirajam peluru dan pasukan Rusia sudah diambang pintu.

Dan Jerman pun kalah, setelah perang dahsyat itu. Lalu orang seperti terjaga. Bukan dari mimpi ngeri, tapi dari sihir Hitler, barangkali. Seorang penulis pernah menyebut mata Hitler yang biru itu tajam bagaikan mata Medusa, tokoh dongeng yang dengan sorot pandangnya menjadikan siapa saja arca batu.

Di bawah Nazi, Jerman memang tak jadi patung, tapi jadi pentas gila, teater dengan wiracarita yang berteriak. Hitler tahu hebatnya pengaruh kata-kata yang dilontarkan ke tengah massa. Dan di Nurnberg di tahun 1934 ia menunjuk ini: rapat akbar Partai Nazi yang menggelegar.
Ribuan bendera swastika berkibar, di langit September, dan ketika malam musim gugur tiba, parade obor pun bergerak dibawa 15 ribu orang, berlarik bagaikan pitra cahaya di jalan-jalan kuno kota Nuremberg. Musik bergema melagukan lagu perang zaman dulu, dan suara ribuan lelaki berpadu menyanyikan lagu baris. Opera Wagner pun tak akan bisa mengalahkan efek pertunjukan seperti itu.

Dan rakyat Jerman tergetar. Yang jadi pertanyaan ialah : bagaimana Hitler bisa tahu bahwa rakyat Jerman akan menyukai teater macam itu?

Jawabnya mungkin: karena Hitler datang dari kalangan mereka. Ia bukan intelektual bukan aristokrat. Ia berasal dari kelas menengah bawah. Ia punya rasa dan punya cara berpikir lapisan ini.

Thomas Mann, pengarang besar Jerman yang membenci kaum Nazi, menulis dalam catatan hariannya tanggal 8 September 1933, ketika ia dengan Hitler berpidato tentang kebudayaan: ”Ide-ide yang ia sajikan . . . . dengan gaya yang benar-benar menyedihkan . . . . adalah gagasan seorang murid sekolah dasar yang kerja keras tapi bakatnya terbatas.”

Tapi rakyat Jerman bukanlah Thomas Mann. Bangsa yang melahirkan Kant dan Goethe itu pada dasarnya toh punya insting seperti bangsa lain juga. Insting itu tak jauh jaraknya dari suatu rasa amarah yang terpendam, mungkin juga iri dan sakit hati. Terhadap luar negeri, mereka marah karena baru kalam dalam perang 10 tahun yang lalu, dan dihukum secara merendahkan oleh lawannya. Terhadap keadaan di dalam negeri, mereka marah karena ketimpangan sosial yang tak teratasi.

Khususnya, ini terjadi di kalangan petani kecil. Telaah terkenal yang ditulis Barrington Moore Jr. – tentang asal-usul sosial-ekonomi dari totaliterianisme dan demokrasi – menunjukkan bahwa pendukung utama nazi datang dari pedalaman. Siapa yang melukiskan Hitler hanya sebagai seorang diktator yang didukung bisnis besar tak akan bisa memahami totaliterianisme, atau setidaknya tak akan tahu betapa kuat sebenarnya fasisme Hitler berakar dalam latar masyarakat Jerman pada masanya.

Pada masa itu petani kecil terancam oleh masuknya kapitalisme. Mereka memandang makelar serta bankir sebagai musuh – yang kebanyakan memang orang Yahudi. Pada saat seperti itulah Partai nazi (yang ”nasionalis” dan ”sosialis”) menawarkan alternatif, dengan kemarahannya, kebenciannya dan impiannya.

Kamu Nazi melukiskan tanah bukan Cuma sebagai sarana pencari nafkah petani, tetapi juga sesuatu yang lebih intim, malah mungkin suci, ketimbang itu. Dalam buku Mein Kampf, Hitler menunjukkan bagaimana ia menganggap barisan petani kecil dan menengah sebagai ”benteng terbaik terhadap kejahatan sosial yang kita miliki kini”. Dalam angan-anganya, industri dan perdagangan akhirnya harus mundur dari posisinya yang di depan, dan bertaut dengan kerangka ekonomi nasional ”yang berdasarkan kebutuhan dan persamaan”.

Romantis, memang, tapi juga – seperti halnya banyak ilusi – bisa menyesatkan. Hitler sendiri akhirnya harus bertopang pada kaum industrialis, untuk menjalankan ekonomi dan mesin perangnya. Tapi pada saat yang sama, ia tak hendak memberi hak-hak politik kepada lapisan masyarakat ini. Bahkan juga tidak kepada siapa saja.

Sebab berbareng dengan kemenangan Nazi, totaliterianisme telah lahir: satu wujud kehidupan politik ketika massa resah dan merasa hampa. Mereka mengharapkan pemimpin, mengharapkan gerakan, mengharapkan bimbingan. Kepada gelora itulah Hitler datang, menyerukan ide ”satu pemimpin, satu bangsa, satu ya ”. Ein Fuhrer, Ein Volk, Ein Ja. Hak untuk berbeda alias kemerdekaan? Tak perlu. Warna harus satu. Yang Yahudi, yang merah, yang hitam, yang berpikiran aneh, semua khianat: bunuh.

Kita tahu Hitler terus mengaum, sejak itu.

Goenawan Mohammad # 22 April 1989

Selasa, 12 Juni 2012

. . . topeng

Anak, yang melempar batu di Tepi Barat Kali Yordan, apakah yang kalian lakukan? ”Kami sekadar sedang berteriak ’tidaaak’ ”.

Intifadah adalah cuma sebuah teriakan. Intifadah adalah perlawanan dari mereka yang bersembunyi di balik selembar kain yang ditutupkan ke wajah. Intifadah adalah perlawanan dengan topeng, kefayeh atau bukan.

Anak-anak Palestina itu, yang melemparkan batu ke tentara yang memegang bedil semiotomatis, mengenakannya rapat-rapat. Bapak dan Ibu mereka tak mengenakannya. Mereka pakai topeng yang lain: topeng sebagai warga kota yang tak berbahaya, tapi sebenarnya tak mau tunduk.

Seorang wartawan Israel yang lama menulis tentang Tepi Barat, dan menentang pendudukan Israel di sana, pernah saya dengar berkata: ”Sebagian besar dari proses intifadah justru bersifat tanpa kekerasan, malah tanpa batu: penduduk yang menolak membayar pajak dan tak mau buka toko. Mereka melawan tapi tak bisa jadi headline”.

Bukan headline, memang. Sebab perlawanan seperti itu berjalan tiap hari, terus menerus, seperti sesuatu yang rutin. Lama. Tanpa granat dan gerilya.

Mungkin karena abad ke-20 adalah abad kekerasan, tapi juga abad tanpa kekerasan. Yang kekerasan kita sudah tahu: dua perang dunia, dua bom atom, sekian kali pembantaian, beratus ribu penyiksaan di ruang interogasi. *Yang tanpa kekerasan nampak lebih jarang, tapi inilah yang istimewa dari abad ini: perlawanan sonder bedil ternyata bisa jadi perlawanan yang efektif. Gandhi menang di India (ketika menghadapi penjajahan Inggris), Martin Luther menang di AS (ketika menghadapi penindasan terhadap orang hitam). Bahkan selama setengah abad usaha pembebasan Palestina, gerakan dengan topeng dan batu ini kini ternyata lebih mengguncang lawan ketimbang teror Abu Nidal yang bunuh sana bunuh sini.

Kenapa? Barangkali karena ide heroisme tengah berubah. Heroisme bukan lagi seorang Archiles ataupun Arjuna – yang kata dalang ”ara tedhas tapak paluning pandhe”, itu – adalah contoh keperkasaan manusia, ketika senjata-senjata masih merupakan kelanjutan tangan dan juga bagian dari pilihan hidup seseorang.

Kini teknologi sudah lain: di satu pihak daya destruktif sebuah senjata kian besar, di lain pihak persenjataan sudah kian ”ke luar” dari pribadi seseorang. Pedang samurai sudah diganti bedil, pistol Colt sudah diganti Uzi. Tak perlu lagi seorang Arjuna bertapa, tak perlu seorang Musashi yang berlatih terus, juga tak perlu seorang *Wyatt Earp yang mahir, buat menguasai senjata. Siapa saja bisa pegang bedil semiotomatis dan membasmi puluhan orang dalam 5 menit. Pada dasarnya juga siapa saja bisa menekan tombol dan sebuah peluru kendali bermuatan nuklir akan menyerbu . . .

Rasa takut, ketidakpastian yang hitam itu, jadi sah, dan kontras antara yang kuat dan lemah kian mencolok. Maka kita tergetar melihat foto dari Beijing di musim panas itu: ketika seorang anak muda, sendirian, tanpa granat di tangan, berdiri mencoba menyetop puluhan tank yang mau menghajar para mahasiswa yang berdemonstrasi di Tiananmen. Memang, kemudian kita tak dengar lagi nasib si pemuda yang kurus dan sendirian menghadang kekuasaan besar itu. Yang kita dengar suara bedil. Tentara Pembebasan Rakyat menembak, dan ratusan anak muda gugur dan Tiananmen sepi kembali. Si lemah berani, tapi tak berhasil.

Ada yang mungkin mengatakan, bahwa Cina menolak sisi abad ke-20 yang memenangkan gerakan tanpa kekerasan itu. Di Cina orang hidup dengan kenangan tentang raja-raja yang saling gempur, jago silat dari Shaolin, dan ucapan Mao tentang kekuasaan yang lahir dari ujung bedil. Di sana orang tak atau belum memakai patokan kesadaran yang selama ini berlaku di negara-negara yang bersentuhan dengan Barat: patokan yang bermula ketika orang percaya bahwa Yesus disalib tanpa melawan, tapi dia tidak kalah ataupun bersalah.

Entahlah. Saya juga tak tahu akan menangkah nati anak-anak muda yang bertopeng kefayeh di Tepi Barat Kali Yordan itu – seperti anak-anak muda di Jerman Timur dan di Cekoslowakia pada musin dingin 1989 ini, yang cukup berteriak ke udara bersalju, dan rezim-rezim gugur secara enteng seperti daun-daun tua. Mungkin orang-orang bertopeng tak harus selalu cepat menang. Tapi tak berarti mereka menyerah.

Apa senjata mereka ? Weapons of the Weak, ”Senjata Kaum Lemah”. Judul buku James C. Scott yang cemerlang. Ia melukiskan bagaimana orang-orang miskin di sebuah dusun Malaysia menjalankan perlawanannya terhadap si kaya, sehari-hari, terus-menerus. Bukan dengan revolusi, bahkan bukan dengan batu. Tapi dengan cara mereka bersikap, bertutur, bertindak, mereka menampik hegemoni yang mau membisukan mereka.

Dan semesta sejarah sebenarnya penuh dengan ”senjata kaum lemah” itu. Mereka seperti patuh tapi sebenarnya tidak, bilang inggih tapi menolak untuk kepanggih. Nah, jika Tuan bilang orang desa itu suka kehidupan yang selaras, mungkin Tuan tak tahu permusuhan dan kepedihan apa yang sembunyi di balik topeng ”selaras” itu.

Goenawan Mohammad#16 Desember 1989

Minggu, 10 Juni 2012

Preman

Akhir-akhir ini sosok preman populer lagi. Mengapa? Bukan karena prestasi mereka. Bukan juga karena kebaikan mereka. Tak mungkin juga preman berbuat baik. Tidak lain dan tidak bukan karena aksi brutal mereka yang telah menelan 3 nyawa. Dan yang lebih menyedihkan terjadi secara kasat mata dan di depan hidung institusi penjaga keamanan. Peristiwa pertama adalah ketika mantan bos sanexsteel ditemukan tewas di sebuah hotel di Jakarta. Beberapa saat sebelum ditemukan tewas, CCTV hotel dengan jelas memperlihatkan tindak-tanduk sekelompok orang yang sangat mencurigakan dan kuat dugaan melakukan kejahatan. Sedangkan peristiwa kedua adalah penyerangan sekelompok orang di sebuah rumah jenazah milik RSPAD Gatot Subroto. Sebenarnya beberapa tahun lalu juga ada peristiwa bentrok antar kelompok di depan pengadilan negeri di Jakarta. 

Bahkan pada saat itu media sempat melaporkan bagaimana para pelaku bentrok menggunakan senjata api. Rupanya, aksi bentrokan ala film holywood bisa juga ditemukan di kehidupan nyata. Tepat di depan hidung kita. Jakarta sekarang mendapat predikat baru, yaitu kota preman. Kalau kita urutkan dan telusuri ibu kota ternyata telah memiliki 3 julukan. Sayangnya julukan itu negatif. Yang pertama adalah kota kemacetan. Julukan ini jarang muncul. Namun, siapakah yang akan membantah? Julukan kedua adalah ibu kota yang kejam dan tak ramah. Saya masih ingat betul sebuah ungkapan di zaman saya mahasiswa yang mengatakan; sekejam-kejamnya ibu tiri masih lebih kejam ibu kota. 

Dan julukan yang ke-3 adalah kota preman. Siapa yang tidak setuju? Persoalan preman adalah persoalan purba umat manusia. Keberadaannya setua kepentingan manusia itu sendiri. Begitu manusia punya kepentingan, pada saat itulah rawan muncul aksi premanisme. Apa lagi kalau kepentingan itu dianggap harga mati bagi pihak tertentu. Maka apa pun dipandang murah untuk dibayar, meski harus melanggar hukum. Dalam sejarah manusia, kita bisa mengamati pada kasus-kasus pembunuh bayaran. Atau pembunuhan di area kerajaan untuk memperebutkan posisi raja. Itu semua adalah kisah-kisah klasik yang menghiasi cerita pewayangan dan naik-turunya kerajaan di tanah Jawa. Kalau kita melihat agak lebih jauh, kita bisa mengamati kisah klasik mafia di Cicilia Italia (dan menyebar ke seluruh dunia), Yakuza di Jepang atau Triad di Hongkong. 

Premanisme adalah sikap-sikap yang mendasarkan setiap tingkah laku bahwa manusia adalah bebas. Bebas memperjuangkan kepentingan tanpa dasar ideologi yang rumit dan detil, namun berdasarkan bahwa setiap orang bebas melakukan atas dasar kemauan dan backing power yang kuat. Itu saja. Sementara, pada kasus Indonesia, preman sebagai individu lebih merujuk pada seseorang yang tak punya pekerjaan dan mencari-cari uang pada lapangan-lapangan pekerjaan yang masih kosong atau belum diatur. Oleh karena itu, mereka masuk pada wilayah itu dan membuat aturannya sendiri. Pada lapisan yang paling rendah, mereka antara lain : tukang parkir tanpa seragam, calo, pengamen dll 

Akar preman kelas coro adalah pengangguran dan sarana layanan umum yang belum mapan. Sementara preman kelas wahid adalah mereka yang merasa kepentingan mereka lebih berharga daripada hukum dan kepentingan umum, hingga mereka tak ragu memanipulasi informasi, fakta, aturan, undang-undang bahkan nyawa manusia.
 Februari, 2012-02-26

Sabtu, 12 Mei 2012

hwang

”Saya tak tertarik jadi pahlawan,” kata dokter itu.

Mungkin tidak. Tapi pada suatu malam Korea yang dingin di bulan Januari 1987, dokter itu, Hwang Juck-Joon, menyaksikan sesuatu yang harus disaksikan dan menemukan sesuatu yang kemudian akan mencelakakannya. Polisi memanggilnya. Ia diminta memeriksa jasad seorang mahasiswa berumur 21 tahun. Anak muda itu mati ketika sedang dalam pemeriksaan polisi.

Hwang Juck-Joon – ia salah satu dari sedikit ahli patologi di Korea Selatan – memang waktu itu bekerja di Lembaga Nasional Penyelidikan Ilmiah, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dalam posisinya di situ, ia secara rutin diminta oleh pihak kepolisian untuk membantu mereka dalam menjejaki kejahatan.

Ketika malam itu ia harus memeriksa tubuh mahasiswa yang mati itu, ia menemukan adanya pendarahan di dalam. Kesimpulannya: anak muda itu, Park Jong-Chul, seorang aktivis yang terlibat dalam pelbagai demonstrasi, mati karena siksaan.
Park, yang oleh interogator polisi sedang diusut ”hubungan-hubungan politiknya”, dengan jelas tewas tercekik. Yang rupanya mengherankan dr. Hwang ialah apa yang diumumkan oleh pihak berwewenang mengenai kematian Park Jong-Chul ternyata tidak sama dengan hasil penemuannya. Menurut pengumuman resmi, si mahasiswa ”mati karena syok.”.

Tapi ada yang tidak bisa ditidurkan dalam diri Hwang. Mungkin itu yang disebut nurani. Dokter yang berumur 40 tahun itu, yang umumnya bukan orang suka merecoki lembaganya, kemudian berbisik kepada seorang temannya, seorang wartawan, tentang apa sebenarnya yang ditemukannya di malam dingin Januari itu.

Dr. Hwang – menurut pengakuannya kemudian – tak menduga bahwa temannya, sang wartawan, akan memuat kesaksiannya. Ia mengira bahwa semua hal yang diungkapkannya tentang kematian Park Jong-Chul hanya akan dicatat sebagai rekaman historis.

Tetapi temannya rupanya berpendapat lain: sebab-musabab kematian Park yang sebenarnya harus dibongkar. Bagaimana pun pembunuhan telah terjadi. Kesewenang-wenangan yang penuh kekerasan telah dilakukan terhadap seorang yang tak berdaya. Apa yang menimpa dengan ngeri hari ini pada Park – jika dibiarkan begitu saja – pada suatu hari nanti akan bisa terjadi pada siapa saja, dan akan didiamkan juga seperti biasa.

Lalu tulisan itu pun terbit. Dan ketika hasil kesimpulan yang sebenarnya dari hasil otopsi akhirnya tersiar luas, masyarakat pun tahu: pihak yang berwewenang bukan saja telah membunuh warga negara. Mereka juga telah berdusta kepada khalayak ramai. Tak ayal – demikianlah tulisan Clyde Haberman dalam International Herald Tribune – suatu lingkungan protes pun terciptalah. Terutama dari kalangan menengah. Dari sini gelombang demonstrasi berkecamuk, melingkar-lingkar, tak putus-putusnya.

Untung, pemerintah Korea Selatan, di bawah Presiden Chun Doo-Hwan, bukanlah pemerintah batu. Suatu penyelidikan dilakukan untuk mengusut sebenarnya apa yang terjadi pada Park Jong-Chul. Di sini barangkali dr. Hwang juga dimintai keterangan. Akhirnya pemerintah pun mengakui: Park mati karena disiksa polisi. Selama anak muda ini diperiksa, kepalanya dimasukkan ke dalam bak air berkali-kali. Suatu ketika tenggorokannya terjepit ke tepi bak itu. Park tercekik, dan bagian dalam leher retak. Ia tewas.

Para pembunuhnya kemudian dihukum. Lima polisi yang menjalankan interogasi terhadap Park dipenjarakan antara 5 dan 15 tahun. Direktur jenderal yang memimpin markas besar kepolisian, Kang Min Chang, dijatuhi hukuman dengan masa percobaan karena menyuruh bawahannya menutupi-nutupi kasus ini.

Itu semua tak menyebabkan dr. Hwang dimaklumkan sebagai pemenang. ”Saya harus mengundurkan diri,” katanya. Ia telah menyebabkan para atasannya kehilangan muka, dan, menurut etik masyarakatnya, ia tak bisa terus bekerja di kantor itu. Juga ia takut. Tiap hari toh ia harus berhubungan dengan polisi, karena tugasnya. Dan Hwang merasa terancam. Ia sering menerima telepon yang menggertaknya, hingga ia harus berganti nomor telepon – dan berhenti bekerja. Ia kini menganggur.

”Saya tak tertarik jadi pahlawan,” katanya. ”Terus terang, mungkin saya ini orang yang dungu.”
Barangkali ia seorang yang dungu, dalam arti orang yang tak memikirkan akibtanya bagi nasib sendiri ketika ia harus mendengarkan hati nurani yang berdegup keras-keras. Tapi bersalahkah Hwang, jika ia jadi contoh yang rendah hati bahwa masih ada jiwa yang begitu mulya ditengah ketakutan ?

Dia mungkin bukan pahlawan. Pemerintah Chun yang mengoreksi dirinya sendiri dengan cepat juga bukan pahlawan. Tapi baik sang dokter maupun sang presiden – sengaja tak sengaja – telah mengangkat bangsa itu ke suatu taraf yang lebih tinggi. Hwang jadi penganggur dan pemerintah Chun akhirnya jatuh. Tapi kini siapa bisa mengatakan bangsa Korea bukan bangsa yang tangguh di hadapan kebenaran?

Goenawan Mohammad # 25 juni 1988

Senin, 23 April 2012

jassin

Kadang-kadang sebuah peruntungan ditentukan oleh sebuah kitab kecil. Setidak ada sebuah risalah yang pernah ikut berpengaruh dalam satu tahapan hidup saya.

Ketika saya berumur 18 tahun, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Fakultas Psikologi, sebuah cabang baru dari Universitas Indonesia. Bukan saya bercita-cita menjadi seorang psikolog; waktu itu saya bahkan tak tahu jelas apa gerangan ”psikologi” itu. Saya memilih pendidikan tinggi itu karena di sana, saya dengar, diajarkan tiga hal: psikologi, filsafat dan sosiologi. Di fakultas lain tidak.

Dan itu semua gara-gara saya membaca, dengan agak terlampau tekun, sebuah buku tipis yang bernama Tifa Penyair dan Daerahnya, ditulis oleh H.B. Jassin lebih dari 30 tahun yang lalu. Koleksi tulisan itu, yang judulnya memang agak aneh, berisi pengantar hal-hal yang perlu diketahui jika anda ingin memasuki lapangan kesusasteraan. Salah satu ajaran H.B. Jassin di situ, kurang lebih, ialah: seorang sastrawan harus menguasai psikologi, filsafat dan sosiologi. Dan saya punya satu cita-cita rahasia: kepengin jadi sastrawan.

Mungkin masih merupakan perdebatan, benarkah seorang sastrawan harus sesiap itu untuk memulai kariernya. Tapi coba kita ikuti tulisan-tulisan H.B. Jassin. Dan kita saksikan bagaimana ia menjalani riwayat hidupnya. Pekan lalu, orang merayakan usia Jassin yang ke-70, dari banyak penjuru. Dikelilingi teman dan pengagum dan lawan-lawan pikirannya, berada di pusat dokumentasinya yang terkenal di Taman Ismail Marzuki itu, kita mendengar ia bicara, di kita pun jadi tahu: kesustraan adalah urusan yang serius, sangat serius.

Sejak hampir 50 tahun yang lalu sosok ini, yang pemalu dan sopan tapi sebenarnya penuh api, menulis tinjauan tentang karya-karya sastra, memperkenalkannya ke khalayak ramai, memberi tempat bagi novelis dan penyair baru, mengajar, menghimpun tiap carik tulisan atau dokumen yang dianggap penting tentang sastra dan sastrawan, mendengarkan pujian dan makian – bahkan ancaman – terhadap dirinya, semuanya untuk kesusastraan Indonesia modern. Penyair Taufik Ismail dengan tepat menyebut bahwa dalam usia ke 70 tahun itu, hidup H.B. Jassin bukan hidup yang panjang, tapi padat. Buat apa? Karena apa? Jawabnya: kesusastraan. Satu urusan yang serius.

Di dalam keseriusan itulah, seorang sastrawan menjadi sastrawan, bukan sekadar bekerja sebagai sastrawan. Awal Juni 1943, penyair Chairil Anwar berpidato di Angkatan Baru Pusat Kebudayaan di Jakarta. Ia menyebut seni cipta adalah ”soal hidup mati”. Berlebih-lebihan mungkin, tapi Chairil (sangat dikagumi Jassin) agak telah memulai suatu semangat, yang menegaskan bahwa kesusastraan – biarpun sepotong sajak – bukanlah sekadar ”wahyu” atau ”ilham”, dorongan mencipta yang datang tiba-tiba. Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis, menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita, adalah proses yang meminta pengerahan batin.

Dalam pengetahuan batin itu seorang seakan-akan menghadapi dirinya sendiri, seakan bercermin. Seorang penyair mungkin tak akan tahu apakah yang nanti ditulisnya jelek, tapi ia akan tahu apakah yang ditulisnya palsu. Ia tak bisa berbohong. Ia harus otentik.

Mungkin itu sebabnya Jassin menganggap bahwa kesusastraan adalah sebuah dunia, yang harus dipelihara dalam kemurniannya. Terkadang orang memang mencemooh, bahwa di luar bidang itu, ia tak tahu apa-apa. Mungkin. Tapi konsentrasinya di dalam urusan ini – yang serius ini – sebenarnya memberi isyarat bahwa di tengah kancah yang riuh rendah oleh banyak hal ini, harus ada sebuah tempat yang teduh, terjaga, leluasa. Kesusastraan adalah salah satu tempat itu.

Maka, ia pun menolak usaha memperpolitikkan penilaian sastra, seperti dilakukannya di tengah desakan PKI di tahun 1960-an, sehingga ia harus berhenti dari jabatan mengajar di Universitas Indonesia. Ia akan mengatakan – dengan tanpa banyak lika-liku – bahwa novel Mochtar Lubis tak bisa dinilai sebagai usaha subversif, begitu pula novel Pramoedya Ananta Toer. Ia akan mempertahankan bahwa keindahan, imajinasi, dan hasil pengarahan rohani seorang manusia (dan itu adalah sastra) tak akan bisa diberi cap secara gampangan. Itulah sebabnya, dengan penuh keberanian, ia menghadap meja hakim, dan dihukum, ketika sebuah cerita pendek di tahun 1969 dianggap ”menghina Tuhan”.

”H.B. Jassin. Di mana berakhirnya mata seorang penyair?” – kata sebaris sajak penyair Toto Sudarto Bachtiar di tahun 1955. Saya tak bagaimana jawaban Jassin. Saya duga ia akan senyum, membaca sebuah sajak atau cerita, memberi catatan, dan berjalan terus. Terus.

Goenawan Mohammad # 8 Agustus 1987

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons