Rabu, 29 Januari 2020

Beasiswa

Saya mendapatkan beasiswa dari Kementrian Agama Republik Indonesia di tahun 2019 kemarin. Fasilitas ini saya dapatkan melalui skema 5000 doktor. Skema ini, konon, dalam usaha menigkatkan kualitas perguruan tinggi di bawah kemenag. Selain dari itu, dilihat dari nama program ini, Dirjen Pendidikan Tinggi Islam (Pendis Islam) berkeinginan menambah jumlah doktor di PTKI yang belum bergelar doktor sebanyak 88% (sumber).


5000 doktor, beasiswa,bea siswa,ptai,djuanda bogor, kampus, universitas swasta



Tulisan ini akan sangat membosankan apabila berbicara seluk beluk Program 5000 doktor. Karena informasi ini dapat diakses dengan mudah melalui website PMU 5000 doktor. Oleh karean itu, saya ingin bicara tentang beasiswa dari sisi lain. 

Pendidikan itu mahal. Apalagi untuk jenjang lanjut S2 dan S3. Tak heran di luar negeri, ada skema pinjaman khusus untuk mahasiswa (student loan). Itu di luar negeri, di Indonesia ada ungkapan Jawa "Jer Basuki Mawa Bea". Yang pada intinya, mengenyam pendidikan memerlukan biaya (bea). Apakah ini bukti nenek moyang kita telah berhasil memprediksi kapitalisasi pendidikan? Sebagaimana Ranggawarsita konon mampu memprediksi tahun kemerdekaan Indonesia, tahap-tahap pemerintahan Jawa hingga kematiannya sendiri?

Say kira, pendidikan sebagai privilege bukanlah efek dari mahalnya biaya tetapi dari kualitas diri (diri peserta didik) yang hendak dibangun. Mahalnya biaya tidak selalu berkorelasi dengan kualitas hasil pendidikan yang baik, tetapi hasil pendidikan yang baik sering kali berkorelasi dengan "bea hidup" yang harus dikeluarkan oleh peserta didik yang kadang-kadang bisa berupa uang juga. Kalau Sunan Kalijaga "berkontemplasi" di tepi sungai 40 hari 40 malam sambil berpuasa dan menahan diri dari aktivitas duniawi sebelum mendapat karamah kewalian, Habibie harus hidup "pas-pasan" agar jadi ahli pesawat terbang di Jerman. Kalau Nabi Muhammad melewati puluhan malam sendirian di gua Hira sebelum mendapatkan wahyu dan pencerahan, mahasiswa-mahasiswa kita - dalam level berbeda mirip seperti Rasulullah, menghabiskan malam-malamnya penuh stres dan tekanan batin sebelum akhirnya sekian puluh malam lagi bangkit dengan sisa-sisa tenaga menyelesaikan disertasi dan berjibaku di sidang akhir. 

Yang ingin saya katakan adalah menjadi orang yang terdidik dan berilmu mesti melalui proses. Ada yang memilih menjadi mahasiswa perantauan di negeri orang. Susah senang dengan lika-liku kehidupan negeri sebrang. Ada yang memilih menjadi pegawai negeri di negeri Pancasila. Susah-senang dengan atmosfer kantor pemerintahan yang khas dan harus siap "menderita" dengan uang pensiunan yang meski "cukup" tapi harus "dicukup-cukupkan". Ada yang menjadi petani. Dengan ketekunannya berangkat pagi pulang sore. Bertaruh dengan harga pupuk, harga hasil panen dan hama yang bisa membuat mereka jadi raja hari ini tapi tiba-tiba jadi budak bulan depan. Semua menikmati bentuk kesulitannya sendiri dan bentuk keberhasilannya sendiri. Semua harus membayar. Sebelum akhirnya menjadi "basuki". Mereka yang berilmu. Mereka yang tercerahkan dan mencerahkan. 

Dan akhirnya, beasiswa bukanlah semacam tiket bioskop twenty-one, melainkan semacam tiket ke kawah panas candradimuka.

Bogor, 29-01-2020

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons