Seandainya Chairil Anwar hidup hari ini, mungkin lebih baik ia tak menulis sajak. Indonesia di tahun 1986 tak sama dengan Indonesia di awal 40-an.
Tentu, saya sendiri tak tahu persis bagaimana tanah air menjelang 1945. tapi mungkin kita bisa membayangkannya: suatu masa ketika pikiran besar dan kecil telah ramai bergulat. Harapan-harapan, untuk sebuah negeri yang bebas, mekar. Pemikir dan penyair sibuk, juga asyik. Dan Chairil pun menulis puisi: begitu besar, begitu kurang ajar.
”Aku suka pada mereka yang berani hidup”, tulisnya, setengah kagum, tentang para pemuda yang berjaga malam seperti prajurit, dan bermimpikan kemerdekaan. ”Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam”.
Dan jika dalam malam itu ada bahaya, juga dosa, setan, atau sifilis,...