Adegan 1
Di sebuah SPBU. Seorang pegawai menyambut dengan senyuman.
“Selamat pagi, Pak”, katanya ramah.
“Mau isi berapa?” sambil tersenyum. Tapi tak se-spontan senyuman yang pertama.
Bapak itu menjawab pendek.
Si bapak pembeli bensin, tak tampak ikut tersenyum. Wajahnya datar. Biasa-biasa saja, malah
terkesan tak mendengar dan pura-pura memperhatikan hal lain.
“Uangnya pas ya, Pak” kata si pegawai. Masih ramah.
“Silakan isi angin atau air bila membutuhkan. Terima kasih.”
Si bapak tetep kalem. Mengangguk pun tidak. Seolah-lah tak mendengar kata-kata itu.
Adegan 2
Di sebuah SPBU. Seorang pegawai menyambut dengan senyuman.
“Selamat pagi, Pak”, katanya ramah. Senyumnya lebar mengembang. Mungkin mantan model
iklan pasta gigi.
“Pagi,” jawab seorang pemuda antusias,”Eh mbak, mau ga main ke rumah saya? Ga ngapa-
ngapain, anda cukup ketemu saya. Senyum. Dan saya kasih Rp 5.000”
Si pegawai kaget. Dia melongo. Dia tidak pernah di training menghadapi pelanggan macam
ini.
***
Adegan pertama adalah adegan yang sudah biasa kita lihat sehari-hari. Adegan kedua adalah
adegan yang hampir mustahil terjadi di negeri ini. Saya sendiri yang punya ide itu pun tidak punya
keberanian melakukannya untuk menguji benar-tidaknya konsep berpikir saya.
Ide ini berawal dari para pelayan SPBU Pertamina yang kian hari kian ramah dan senang
tersenyum. Namun, tak ada seorang pun yang menghiraukan. Bahkan hampir tak ada yang
membalas senyuman mereka. Karena senyuman mereka adalah senyuman bayaran. Mereka
tersenyum karena dibayar. Bukan karena anda ganteng atau karena mereka memang orang yang
ramah.
Saya tidak mencela mereka yang tersenyum karena pekerjaan atau karena uang. Uang yang
mereka dapat pun halal. Namun, makin lama makin banyak keindahan, keramahan dan kebaikan-
kebaikan yang tak tulus. Semakin gampang kita mendapatkan keramahan, kebaikan-kebaikan di
tempat-tempat komersial seperti bank-bank, supermarket2, toko-toko dll namun semakin sedikit
kita temukan keramahan, ketulusan dan kebaikan-kebaikan di kehidupan nyata.
Kalau saya perkirakan, senyum mereka bernilai 200 rupiah. Bila sehari ada seratus pelanggan
dan mereka kerja 26 hari sebulan berarti sebulan mereka dapar 500 ribuan untuk tersenyum.
Sisanya adalah bayaran kehadiran mereka, uang makan dll. Artinya, bila mereka profesional,
tawaran 5.000 untuk tersenyum tak boleh disia-siakan.
Saya jadi ingat sebuah hadist, “Tersenyumlah, karena senyummu kepada saudaramu adalah
sedekah.” Kalau Nabi hidup sekarang, beliau mungkin akan kecewa karena ‘hadist’ yang sekarang
berlaku adalah “Tersenyumlah, karena tersenyum itu bernilai 200 rupiah.”
***
Daripada termenung karena mikirin degradasi senyum karena kekuatan uang, lebih baik aku
mendengarkan musik. Kunyalakan winampku. Dan ku-klik tombol play. Satu lagu dari Sabrang
Mawa Damar Panoeloeh dengan grup band-nya ‘Letto’ :
. . .
Oh bukanlah
cantikmu yang kutunggu
Bukanlah itu yang aku mau
Tetapi ketulusan hati yang abadi
Ku tahu mawar tak seindah dirimu
Awan tak seteduh tatapanmu
Namun, ku tahu yang kutunggu
Hanyalah senyumanmu
P# 23 September 2010
Senin, 04 Oktober 2010
Senyumanmu Yang Kutunggu
05.31
adi rahman
0 comments:
Posting Komentar