Tiga pemilu terakhir PKS (Partai Keadilan Sejahtra) menjadi perhatian. Pada pemilu tahun 1999 –saat itu bernama PK (Partai Keadilan), menjadi ”rookie of the year” atau pendatang baru terbaik. Menjadi partai baru yang langsung masuk ke jajaran papan atas partai-partai besar – selain PDI-P tentunya. Kemudian fenomena yang sama pun terjadi di tahun 2004 dan tahun 2009. Terutama di tahun 2009, ketika partai-partai Islam lain mengalami penurunan, hanya PKS yang naik suaranya. Meskipun masih kalah dibanding sang pemenang pemilu, Partai Demokrat.
Beberapa waktu yang lalu PKS melakukan Musyawarah Nasional. Ada beberapa kontroversi yang muncul. Salah satu yang menonjol adalah tekad partai ini menjadi partai terbuka atau partai tengah. Sikap ini ditandai dengan terbukanya PKS terhadap non-Muslim. Ada yang sepakat dan mendukung, namun tak sedikit pula yang tak setuju dan mengkritisi. Di balik dua ekstrim ini, Ada juga yang melihat ini sebagai pemanis bibir semata alias sikap pura-pura.
Fenomena yang hampir mirip pun terjadi dengan partai lain. Partai Demokrat (PD) menyatakan pula dirinya sebagai partai tengah. Dalam beberapa iklan di media masa, para petinggi PD menyatakan dirinya sebagai partai nasionalis yang religius. Andi Malarangeng menyatakan dalam suatu kesempatan, “Agama menjadi spirit dan semangat dalam membangun negara..”. Manuver yang tak kalah elegan dilakukan Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia Perjuangan (PDI-P), yaitu dengan membentuk Baitul Muslimin. Fakta bahwa pemeluk Islam adalah mayoritas di Indonesia tak disia-siakan oleh partai pimpinan Megawati Soekarno Putri ini. Perda-perda syariah di berbagai daerah juga tidak selalu dipelopori oleh partai yang bercorak Islam. Bahkan di beberapa daerah Golkar ternyata ikut mendukung Perda-perda syariah. Bisa jadi Golkar di daerah itu melihat Perda Syariah sebagai kebutuhan bisa pula merupakan manuver politik untuk Pemilu mendatang atau merupakan bagian dari deal dengan partai lain. Apapun, latar belakangnya sepertinya klasifikasi partai politik di Indonesia memerlukan parameter yang lebih detil.
Solahudin Wahid (Gus Solah) pun – dalam tulisannya di Kompas, melihat fenomena ini sebagai “kelas” baru partai politik. Dahulu partai-partai politik bisa di klasifikasikan sebagai partai kanan dan “kanan mentok”, kiri dan “kiri mentok”. Lalu di antara keduanya ada partai tengah yang konservatif nasionalis yang secara politis cenderung mempertahankan status quo. Isu revolusi – menurut khasanah ilmu politik era Perang Dingin, selalu di identikkan dengan “partai-partai kiri”. Namun, di era pasca Perang Dingin isu revolusi kian akrab dan diidentikkan dengan “partai-partai kanan”. Pengklasifikasian dahulu tidak begitu sulit dilakukan. Namun, sekarang partai-partai berlomba-lomba menjadi partai semua orang, sehingga identitas partai menjadi tidak begitu khas dan unik, akibatnya masyarakat relatif sulit mendalami “isi hati” partai-partai.
Ke depan kondisi seperti ini masih akan terjadi. Partai-partai akan terus mengklaim – dengan cara mereka masing-masing, bahwa mereka adalah partai terbuka dan untuk semua orang. Artinya, partai-partai akan cenderung kehilangan ke-khasannya. Hal ini karena dalam memasarkan partai di era sekarang mengalami perubahan. Kalau era orde baru yang menjadi pemenang adalah mereka yang dekat dan mampu mengendalikan birokrat, sekarang yang menjadi pemenang adalah mereka yang paling banyak dipilih rakyat. Inilah konsekuensi reformasi yang (ternyata dan paling mudah dipahami) diartikan sebagai partisipasi langsung memilih wakil rakyat.
Fenomena ini adalah kebalikan dari fenomena pemasaran produk-produk masa kini. Marketing kosmetik, motor, makanan cepat saji dll di tv-tv memakai metode yang terbalik dengan marketing partai-partai politik. Strategi marketing kosmetik dan barang-barang sejenis, adalah dengan menciptakan kebutuhan. Strategi ini mengikuti asumsi “products creates its own demand’. Produk atau barang-barang dibuat dahulu maka (melalui promosi, iklan dll) permintaan akan muncul. Sedangkan strategi marketing partai politik adalah mengikuti kebutuhan ‘konsumen’ (baca: masyarakat). Sehingga asumsi yang dipakai adalah “politics follows peoples demand”. Artinya, ‘produk’ partai politik akan mengikuti gerak-gerik dan kecenderungan masyarakat. Meskipun, partai politik dan perusahaan-perusahaan sama-sama memiliki akumulasi dana yang besar, namun menciptakan demand terhadap partai politik, tidak sesedarhana membujuk orang memakai shampoo jenis A atau memakai motor jenis Y. Karena operasional benda-benda amat mudah dipahami dan dilihat, sedangkan konsep politik yang dimiliki (atau yang tidak dimiliki) partai politik merupakan benda abstrak dan tak dapat disentuh kecuali oleh pemikiran dan akal sehat. Partai-partai akan membutuhkan waktu yang tak sedikit untuk ‘menciptakan demand’ terhadap dirinya. Dan ini strategi yang tidak populer.