Mahasiswa di kampus terkungkung dengan sekat-sekat kependidikan. Suara mereka saat ini terdengar hanya sampai di boulevard depan kampus. Karena disitulah mereka biasa berdemo. Di dalam kampus suara-suara mereka tertempel di dinding mading atau tembok-tembok kantin kampus. Lain itu tidak. Persatuan antar kampus menjadi barang yang terlalu langka. Entah karena persoalan teknis, seperti jarak, jumlah aktifis yang berkurang atau pun alasan yang lebih sistemik seperti artikulasi isu yang lemah, dukungan kampus (baca: rektorat, dosen dll) yang sekarang ke pemerintah dan pusing mikirin BHP, budaya hedonis yang menggerogoti gerakan mahasiswa dari dalam dll.
Sekarang mereka menjadi saksi. Saksi dalam arti harfiah. Menonton peristiwa. Dan ketika ditanya tentang peristiwa yang terjadi, mereka hanya mampu menganalisis kulit permasalahan. Berbeda bila ditanya tentang perkembangan musik. Siapa band yang sedang nge-tren ? Lagu apa yang sedang menduduki ranking pertama ? Gosip terpanas apa yang menimpa selebriti penyanyi kita ? Bagaimana sejarah dan permulaan gosip itu ? dan pertanyaan lain akan mereka jawab lancar. Mereka bak BJ Habibie sedang menerangkan keunggulan teknologi yang dimiliki CN-250 (ngomong-ngomong bagaimana kabar PT. DI).
Generasi abad 21
Tanggal 11 November, SCTV menayangkan para pemimpin muda Asia Pasifik membahas tren abad 21. Pembicara tamu yang berbicara antara lain Abdullah Yunus (peraih nobel ekonomi 2008, pendiri Grameen Bank Bangladesh yang selama 23 tahun memberikan pinjaman lunak pada wanita-wanita miskin di sana), Dr. Surin (Sekjen ASEAN) dan Tony Fernandes (CEO AirAsia, perusahaan penerbangan revolusioner termurah di dunia). Forum itu terdiri dari pemimpin muda Asia-Pasifik dari Selandia Baru, Australia, Indonesia, Myanmar hingga negara Asia Timur seperti Cina dan Korea. Dari Indonesia antara lain di wakili diplomat muda Dino Pati Djalal (sekarang menjadi juru bicara kepresidenan) dan aktifis pendidikan rakyat miskin Butet Manurung.
Berbagai masalah dibicarakan. Mulai dari isu regional, seperti peran ASEAN dalam kerja sama negara-negara ASEAN, serta bagaimana mengangkat negara ASEAN dalam percarturan dunia. Sampaiisu yang sistemik, seperti kemiskinan, pengaruh teknologi. Ada satu polling yang diadakan diantara mereka. Pertanyaannya adalah “Apakah kemiskinan dapat dihilangkan hingga nol?”. Hasil poling menunjukkan perbedaan yang tipis. Persentase perbedaan di bawah 5 persen. Labih banyak yang mengatakan “tidak” atas pertanyaan tadi.
Pertanyaan tadi, menurut saya sebenarnya masih mengambang. Mereka dipaksa menjawab isu kemiskinan yang definis ‘kemiskinan’ itu sendiri masih belum jelas. Maka saya angkat jempol untuk Butet Manurung yang mengartikulasikan kemiskinan dengan mat bagus. Pengalaman Butet berkelana di hutan Sumatra, menggambarkan apa itu kemiskinan dan kekayaan bagi suku pedalaman. Bagi suku pedalaman tak ada gunanya di beri uang Rp 100.000 per hari, karena mereka tidak mengenal mata uang dan perdagangan. Mereka tidak tahu apa itu kemiskinan, mereka mengira TBC adalah kutukan iblis. Yang jelas mereka amat perduli dengan hutan mereka. Mereka krisis ketika kijang hanya dapat mereka temukan sekali setahun, padahal biasanya 1 bulan sekali. Komentar Butet mendapat applaus dari para peserta.
Dari Indonesia, Dino Pati Djalal, ketika ditanya tentang apa yang akan terjadi di abad 21 yang tidak ditemukan di abad 20, dia melihat dari perspektif politik kenegaraan. Dia mengatakan abad 21 akan terjadi lebih banyak transformasi politik. Dia memberi ilustrasi bagaimana dahulu, ekspansi negara-negara dilakukan dengan senjata dan penjajahan. Dia tidak mengatakan sekarang cara itu tidak dipakai lagi, karena pada kenyataannya memang masih dilakukan (dengan cara yang lebih halus dan diplomatis). Sayangnya, dia tidak menjelaskan ke arah mana transformasi akan terjadi, apa pendorongnya, apakah regional juga akan mempengaruhi bentuk dan arah transformasi dsb. Dia hanya mengakhiri dengan kalimat pendek, bahwa “(transformasi) itu akan mempengaruhi konektifitas (negara-negara)”.
Dari negara lain lebih melihat dari perspektif perkembangan teknologi. Mungkin, karena di negara mereka opini teknologi telah amat kuat dan merata. Saya sepakat dengan mereka bahwa dengan teknologi gerakan perubahan bisa lebih cepat. Dan - sayangnya, karena teknologi netral, teknologi bisa sekaligus positif dan negatif. Tergantung bagaimana mengarahkannya. Bagi saya, mereka terlihat kuat dalam mengartikulasikan teknologi sebagai hardware perubahan, namun terlupa software-nya yang bisa jadi berada di luar teknologi. Namun, secara umum teknologi berperan penting dalam perubahan dan merupakan faktor - meski bukan faktor utama.
Para peserta bukanlah mahasiswa. Bisa jadi perubahan yang akan mereka bawa terbentur sekat-sekat birokrasi dan sistem pemerintahan, karena mereka telah berada di dalamnya. Berbeda dengan mahasiswa yang masih bisa bergerak bebas. Akan tetapi, siapapun mereka ada satu prinsip yang bagus untu dipegang. Hal ini dikatakan peserta dari Korea yang mengatakan bahwa penentuan agenda perubahan adalah penting. Dan memang selama ini penentuan agendalah yang sulit diwujudkan untu perubahan. Karena penentu agenda perubahan selama ini adalah negara-negara maju dan kuat.
Bagaimana mungkin konferensi untuk lingkungan hidup membahas yang membahas tentang penurunan emisi berusaha diarahkan untuk membahas kebolehan meningkatkan emisi ?
Inilah mungkin yang harus segera diambil keputusannya. Agenda apa yang krusial dan urgen bagi negeri ini. Atau mahasiswa tetap menjadi saksi sampai entah kapan.