Sebagai seorang mahasiswa ekonomi, saya tentu mempercayakan permasalahan hukum pada rekan saya yang mahasiswa hukum. Slogan-slogan mengenai hukum juga saya terima dengan terbuka. Tanpa terlalu banyak mempertanyakan. Misalnya, ‘hukum adalah panglima’. Yang seorang teman menafsirkan, tanpa peraturan atau hukum yang ditaati maka kegiatan bisnis, politik, sosial dst tidak akan berjalan dengana benar. Oleh karena itu, saya mulai berpikir “apa tidak sebaiknya kita mulai percayakan pada Polisi untuk menyelesaikan kasus Bibit - Chandra yang sekarang sedang ramai ?” Karena merekalah yang punya otoritas, perangkat dan pengalaman.
Polisi - bersama militer, merupakan 2 lembaga yang mewarisi ‘gaya’ orde baru. Sudah mafhum bagi kita yang pernah hidup di masa orde baru betapa strategis posisi polisi dan militer. Baik secara ekonomis maupun politis. Artinya, bila anda punya keluarga polisi atau militer bisa jadi bisnis anda bisa lebih lancar. Begitu juga bagi mereka yang punya kepentingan politik tingkat tinggi, akan langgenglah kekuasaan mereka bila bisa mengendalikan polisi dan militer.
Era reformasi, menempatkan militer (termasuk di dalamnya polisi) menjauh dari “induk semang” (baca: penguasa orba). Di era reformasi inilah tak ada yang benar-benar “menguasai” mereka. Justru, para suhu-suhu militer bertarung satu sama lain. Akibatnya, kekuatan militer terpecah-pecah. Ini bisa dilihat dari pemilihan presiden tahun ini yang menempatkan para tokoh militer dalam posisisaling berhadapan. Sementara polisi lebih tidak jelas posisinya. Secara politik mereka tentu di bawah pemerintah, namun reformasi di tubuh penegak hukum terhormat yang belum juga terjadi menimbulkan pertanyaan “kemana mereka mendedikasikan kesetiannya ?”
Rupanya, bisnis telah masuk begitu rupa di tubuh penegak hukum terhormat. Para pebisnislah yang akhirnya dekat dengan kepolisian. Kepolisian punya “pistol” sementara pengusaha punya uang untuk membeli makanan bagi penegak yang “kelaparan”. Rekaman percakapan yang tempo hari diperdengarkan di KPK menjadi buktinya. Dan amat kuat diduga itu baru puncaknya. Simbiosis mutualisme yang memuakkan. Sudah jelas dan bisa jadi pengalaman pribadi kita juga menguatkan argumen bahwa anti-hukum dan anti-peraturan berkembang di tubuh kepolisian. Buktinya, suap, pungli dst masih terjadi di sana.
Sayangnya, polisi hanya punya satu bahasa. Bahasa hukum dan kekuasaan yang selama orde baru terbiasa dimanipulasi. Bahasa keprihatinan masyarakat, tak mereka pahami meski jelas terdengar. Komjen Pol Nanan Sukarna dalam press release ketika menerangkan mengapa Agd W tidak jadi tersangka mengatakan, “kita tidak melakukan berdasar tekanan”. Polisi memang tidak boleh bergerak karena tekanan masyarakat semata, tetapi seharusnya moral dan pesan dari tekanan masyarakat terbaca oleh polisi. Seperti ketika kita kecil, kita mungkin pernah diceramahi orang tua agar belajar, menjadi orang cerdas dan punya pekerjaan bagus. Ini adalah tekanan bagi kita yang waktu itu masih pelajar. Akan tetapi, pelajar yang baik akan memahami ‘ceramah’ tadi bukan sebagai tekanan dan akhirnya menemukan nilai-nilai di balik ‘ceramah’ itu bahwa itulah nilai-nilai dan prinsip hidup.
Maka, percayalah pada polisi mereka sedang menggali kuburannya sendiri.
Polisi - bersama militer, merupakan 2 lembaga yang mewarisi ‘gaya’ orde baru. Sudah mafhum bagi kita yang pernah hidup di masa orde baru betapa strategis posisi polisi dan militer. Baik secara ekonomis maupun politis. Artinya, bila anda punya keluarga polisi atau militer bisa jadi bisnis anda bisa lebih lancar. Begitu juga bagi mereka yang punya kepentingan politik tingkat tinggi, akan langgenglah kekuasaan mereka bila bisa mengendalikan polisi dan militer.
Era reformasi, menempatkan militer (termasuk di dalamnya polisi) menjauh dari “induk semang” (baca: penguasa orba). Di era reformasi inilah tak ada yang benar-benar “menguasai” mereka. Justru, para suhu-suhu militer bertarung satu sama lain. Akibatnya, kekuatan militer terpecah-pecah. Ini bisa dilihat dari pemilihan presiden tahun ini yang menempatkan para tokoh militer dalam posisisaling berhadapan. Sementara polisi lebih tidak jelas posisinya. Secara politik mereka tentu di bawah pemerintah, namun reformasi di tubuh penegak hukum terhormat yang belum juga terjadi menimbulkan pertanyaan “kemana mereka mendedikasikan kesetiannya ?”
Rupanya, bisnis telah masuk begitu rupa di tubuh penegak hukum terhormat. Para pebisnislah yang akhirnya dekat dengan kepolisian. Kepolisian punya “pistol” sementara pengusaha punya uang untuk membeli makanan bagi penegak yang “kelaparan”. Rekaman percakapan yang tempo hari diperdengarkan di KPK menjadi buktinya. Dan amat kuat diduga itu baru puncaknya. Simbiosis mutualisme yang memuakkan. Sudah jelas dan bisa jadi pengalaman pribadi kita juga menguatkan argumen bahwa anti-hukum dan anti-peraturan berkembang di tubuh kepolisian. Buktinya, suap, pungli dst masih terjadi di sana.
Sayangnya, polisi hanya punya satu bahasa. Bahasa hukum dan kekuasaan yang selama orde baru terbiasa dimanipulasi. Bahasa keprihatinan masyarakat, tak mereka pahami meski jelas terdengar. Komjen Pol Nanan Sukarna dalam press release ketika menerangkan mengapa Agd W tidak jadi tersangka mengatakan, “kita tidak melakukan berdasar tekanan”. Polisi memang tidak boleh bergerak karena tekanan masyarakat semata, tetapi seharusnya moral dan pesan dari tekanan masyarakat terbaca oleh polisi. Seperti ketika kita kecil, kita mungkin pernah diceramahi orang tua agar belajar, menjadi orang cerdas dan punya pekerjaan bagus. Ini adalah tekanan bagi kita yang waktu itu masih pelajar. Akan tetapi, pelajar yang baik akan memahami ‘ceramah’ tadi bukan sebagai tekanan dan akhirnya menemukan nilai-nilai di balik ‘ceramah’ itu bahwa itulah nilai-nilai dan prinsip hidup.
Maka, percayalah pada polisi mereka sedang menggali kuburannya sendiri.
0 comments:
Posting Komentar