Jumat, 12 Oktober 2012

fan

Seorang wanita, dalam sebuah pertemuan, pernah diketahui mengeluarkan bau yang ganjil di antara parfumnya. Seperti bau tembakau apak. Kemudian wanita bangsawan dalam istana Weimar itu mati.

Ternyata, di lehernya terpasang sebuah kalung, dengan kotak kecil sebagai medalion. Orang pun membukanya. Isinya: betul, tembakau apak. Persisnya sekerat puntung.

Adapun puntung itu berasal dari cerutu yang pernah diisap oleh Komponis Franz Liszt di sebuah jamuan makan 30 tahun sebelumnya. Si wanita bangsawan rupanya kepingin mendapatkan satu tanda mata dari musikus romantis yang termasyhur itu, yang agaknya diimpikan setiap hari, sampai mati, Mein Liebestraum . . . .

Kita boleh percaya boleh tidak kepada cerita dalam kenang-kenangan Ford Madox Ford itu, tapi satu hal memang masuk akal: pelbagi tingkah aneh, lucu, mengharukan, mengganggu, atau berbahaya bisa dilakukan sejumlah manusia yang begitu getol memuja satu tokoh atau sesuatu yang bukan tokoh dalam hidup mereka. Fan,menurut The New Oxford Illustrated Dictionary, merupakan singkatan dari kata ”fanatik”. Dan Napoleon (yang punya sejumlah besar fan) rupanya tahu benar perkara itu ketika mengatakan, ”Tak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat”.

Sehat? Tidak Sehat?

Seorang pengagum, seorang pemuja, di dalam dirinya menyimpan sesuatu yangbisa disebut sebagai kesedian ”berkorban”. Dan pengorbanan diri tak selamanya dianggap sakit”.
Pemuja Liszt itu berkorban dengan bersedia menerima bau tembakau apak. Seorang gadis Inggris di Benfleet, di tengah kegandrungan Piala Dunia 1986, menunjukkan kesedian yang tak kalah intens: ia membayar tiga poundsterling kepada seorang ahli hukum untuk mengubah nama. Semula: Janiece Harris. Kini: Jandiego Janiece Jennifer Dorothy Arsenal Maradona. Nama ”Arsenal” ia ambil dari klub favoritnya. Nama yang lain kita tahun darimana datangnya.

Pengorbanan seperti itu (kita bisa bayangkan bagaimana repotnya kini Janiece mengisi KTP) memang bukan bandingan kisah-kisah tindakan besar dalam skala Siti Masyitoh atau Santo Sebastian: orang-orang yang bersedia mati, dengan rasa sakit, untuk sesuatu yang lebih agung – atau lebih penting – ketimbang seorang musikus atau seorang jagoan bola. Tapi kasus serupa, meskipun dengan derajat yang berbeda-beda, selalu terdapat satu hal: hati yang bergelora. Dari sana ada passion.

Tak begitu pasti kenapa ada hal-hal yang tertentu dalam hidup ini bisa menyalakan gelora hati, terutama bila hal tertentu itu adalah sepak bola. ”Tak ada penjelasan yang tunggal kenapa 22 orang laki-laki bercelana pendek yang sibuk mengejar-ngejar sebuah bola bisa menyebabkan jutaan orang terkesima, sejak dari Patagonia sampai dengan Praha”, tulis wartawan Reuter tentang Piala Dunia di Meksiko itu, yang diikuti dimana-mana dan berhari-hari, bahkan, seperti halnya di Indonesia, pada pukul 01.00 pagi. Seorang makhluk E.T. yang dari pesawatnya di ruang angkasa meneropong ke bumi 30 Juni yang lalu, ketika pertandingan final berlangsung, mungkin akan menyangka makhluk numi sedang kena sihir primitif yang mahakuat – yang memancar dari sebuah benda bulat kecil nun jauh di tengah lapangan di sebuah kota di benua Amerika.

Memang ada semacam sihir dalam tiap passion. Mungkin karena itulah di tahun 1970 orang-orang El Salvador dan Honduras saling panas, setelah sebuah pertandingan besar, dan perang meletus antara kedua negara itu. Mungkin itu pula sebabnya di Belgia, di Stadion Heysel di tahun 1985, 40 orang mati karena bentrokan.

Apa pun sebabnya, passion seperti itu – yang merundung jutaan manusia dengan bermacam-macam tingkat IQ – bisa disimpulkan sebagai ciri sebuah masa yang telah menjebol aristokrasi. Kini para fan tidak terbatas hany pada satu dua wanita bangsawan yang ingin menyimpan momento seorang musikus kelas atas. Bob Geldof maupun musuhnya, para pembajak kaset rekaman, tahu benar hal itu. Kini orang banyak – yang dengan tepat disebut ”orang kebanyakan” – telah memperdengarkan selera mereka, atau dengan kata lain, diri mereka. Dari situlah kata ”laris” menjadi memikat.

Bahkan perang juga perlu laris: perang tak lagi semata-mata hanya sport para raja dan tentara profesional. Kekalahan Austria yang sangat cepat di tahun 1866 adalah, setidaknya menurut sebagian ahli sejarah, karena wangsa Hapsburg tak bisa melihat bahwa kekuatan bisa datang dari gelora hati orang banyak – yang telah melahirkan nasionalisme (dan juga demokrasi). Dengan kata lain: keterlibatan massal. Lawannya, Prusia, sebaliknya: Bismarck bukan Cuma berhasil menyatukan Jerman, tapi ia juga berhasil membuat negara dan masyarakat sipil jadi satu keterpaduan yang bergelora. Maka, ia pun menang, dan wangsa Hapsburg runtuh.

Beberapa tahun sebelumnya, ketika berbicara tentang sejarah, Hegel memang sudah menulis: ”Tak ada hal besar di dunia telah tercapai tanpa passion.” Teknik, perencanaan, ketertiban memang menjanjikan hasil yang diperhitungkan, tapi jika ada pelajaran yang bisa ditarik dari pertandingan besar sepak bola, maka itu adalah satu hal: tanpa orang banyak, tanpa fan, yang gandrung dan tergila-gila, permainan di sana itu akan segera kehilangan makna.

Goenawan Mohammad # 5 Juli 1986

Rabu, 12 September 2012

hello, darkness

Anda mungkin masih ingat The Graduate. Di layar putih itu, Dustin Hoffman pulang setelah lulus dari perguruan tinggi. Tapi ia merasa segalanya kosong, seperti gelembung, ruang-ruang rumahnya yang besar, rasa bangga dan ambisi bapak-ibunya, juga omongan para tamu. Kehidupan yang tampak tentram itu, yang dilingkungi jalan bersih dan aman, hanya seperti lukisan kalender. Si anak pulang, tapi ia hanya melayang-layang.

”Hello, darkness . . .”. Kita dengar di latar belakang Simon and Grafunkel menyanyi, lirih seperti melamun. Dan ketika si anak muda berzina dengan ibu pacarnya, tetangga papi-maminya, kita tahu juga lanjutan kekosongan sebuah lingkungan kelas menengah yang seperti sedang kena anastesi.

Lalu si anak pun memberontak. Selamat tinggal hidup borjuis.

Tapi itu Amerika pada tahun 60-an, Amerika yang sedang muak dengan segala yang materialistis dan kelas menengah. Amerika dalam dasawarsa 80-an kini adalah Amerika lain: Amerika-nya Tom Cruise yang terkesima mendengar bahwa “Rakus itu bagus” dalam Wall Street. Atau Amerika dalam film Risky Business, ketiko konon Tom Cruise jadi seorang murid sekolah menengah yang membiarkan seorang pelajar membuka bordil di rumah orang tuanya. Perempuan itu pun dengan bersemangat tanpa rasa bersalah, tanpa ragu – bekerja. “What a capitalis,” kata Tom Cruise setengah bingung setengah kagum.

Maka kata seorang penulis pada masa The Graduate bisnis dianggap sama dengan prostitusi, pada masa Tom Cruise tak perlu dibedakan mana bisnis dan mana prosititusi.

Zaman memang berubah – dan tak Cuma di Amerika Serikat. Jika seorang wartawan New York bernama John Taylor bercerita tentang “kultur kekayaan dan kekuasaan pada tahun 1980-an (dalam Cirsus of Ambition), jika ia bicara tentang mahajutawan Donald Trump yang menghancurkan ukiran bersejarah di sebuah gedung tua yang dibelinya, jika ia bercerita tentang para yuppies dan “pangeran Wall Street” yang hidup gemerlap dengan uang yang bukan miliknya, kita juga – di Jakarta – merasa cerita seperti ini adalah rekaman tentang sebuah gaya yang menular.

Pemeo di Jakarta yang ering kita dengar, “uang punya kuasa” kini seakan digaris-bawahi tebal-tebal kekayaan sudah jadi ukuran tunggah yang sah. Dulu orang bisa merasa tetap utuh harga dirinya tanpa punya benda-benda besar. Seorang guru bisa tetap merasa seperti seorang ksatria: gajinya kecil tapi ia merasa terhormat karena mengabdi kepada sesuatu yang lebih agung. Kini siapa lagi yang demikian?

Ya, zaman memang berubah. Ada masanya para nabi dan para demonstran mengecam kekayaan. Kecaman itu tak selamanya berarti mengandung niat hendak mensakralkan kemiskinan. Tapi kini nampaknya orang bukan saja hendak menyatakan sikap kaya yang tanpa rasa berdosa. Orang bahkan ingin mensakralkan: kekayaan yang berlimpah setidaknya bisa saja dikaitkan dengan ibadah.

Di Amerika, Bakker, penginjil televisi itu, sempat mengumpulkan uang begitu rupa, dan punya rumah begitu rupa, dan kandang anjing begitu rupa, bersar dan ber-AC. Ia akhirnya dijatuhi hukuman sebagai penipu, namun para pengikutnya tetap (juga setelah ia dibuktikan bersalah) melihat si bapa penginjil ada di jalan Tuhan.

Dan Bakker tak sendiri. Hal yang serupa bisa terjadi di Indonesia, dengan sedikit variasi. Bukankah orang Islam juga pernah dianjurkan untuk “bekerja buat dunia seperti hendak hidup selama-lamanya dan bekerja untu akhirat seperti hendak mati besok”, sering dengan kesimpulan bahwa tak ada salahnya dapat dua jenis surga sekaligus, dalam arti punya dua Baby Benz dan dua gelar haji?

Saya tak tahu adakah ini hanya satu “mode” yang melintas, sebuah demam zaman, ataukah ini tanda akhir yang menampakkan bahwa manusia memang “cuma begitu” : makhluk yang menginginkan surga sebanyak-banyaknya, kini dan nanti.

Yang pasti, keperluan setiap individu untuk harta, benda, waktu, kesempatan, apalagi kekuasaan, akhirnya akan terbentur pada satu batas: jutaan individu lain juga lambat atau cepat menghendaki hal-hal yang sama. Dengan kata lain, kehidupan sosial dan ekonomi dan politik akan selalu terdiri dari pergulatan untuk “peroleh bagian”. Ada yang akan menang dan ada yang akan kalah.

Bahaya terbesar akan tiba bila tanda kemenangan jadi hanya satu, dan ukuran kemenangan jadi hanya tunggal, ketika kekayaan materi tak bisa dipisahkan lagi dari kekuasaan atau dari kehormatan sosial, bahkan dari standar perilaku dan harga diri. Sebab dalam keadaan seperti itu, siapa yang kalah di satu hal akan kalah di segala, dan tamat.

Goenawan Mohammad # 4 November 1989

Minggu, 12 Agustus 2012

revolusi, kata john lennon

Para diktator suka punya mimpi yang mustahil. Napoleon, misalnya: ia tidak saja ingin membereskan masa kini dan mengatur masa datang; ia juga ingin mengarahkan masa lalu.

Ia sudah memberangus pers dan kini ia coba berangus kenang-kenangan. Ia nyatakan bahwa Revolusi Prancis, yang meletus tahun 1789, berakhir pada tahun 1799. lalu ia dirikan sebuah patung gajah. Diharapkan agar Revolusi Prancis, yang tiap tahun diperingati pada hari dihancurkannya Penjara Bastille itu, berangsur-angsur dilupakan orang. Dengan satu monumen gajah besar, yang dibangun dalam posisi menginjak tempat penjara Bastille dulu diruntuhkan, ia seperti mau menghapus bekas: jejak sebuah episode.

Tapi ternyata semua gagal. Bangunan yang mulai didirikan pada tahun 1814 itu akhirnya rontok pada tahun 1846. napoleon sendiri akhirnya kalah perang, dan kita ingat ia mati di pembuangan.
Sebaliknya, Revolusi Prancis tetap diperingati. Pada tahun 1989 ini sejarawan Simon Schama menulis dalam Citizens, sebuah cerita panjang yang memukau tentang Revolusi Prancis: ”The elephant of Deliberate Forgetfullness was . . . no match for the Persistence of Revolutionary Memory”. Si Gajah Sengaja-Lupa rupanya kalah bertanding dengan Kenangan-Alot-Revolusi.
Kenapa ? Kenapa kenangan tentang revolusi tak pernah bisa jadi nasi basi?

Karena revolusi adalah sebuah Kurusetra: di sana ada begitu banyak wajah manusia dalam ekspresi yang paling intens. Baca saja sketsa Idrus tentang Surabaya di tahun 1945. Tindakan heroik untuk satu ide yang tak tanggung-tanggung. Kebuasan yang dahsyat atas nama keadilan. Pengkhiatan yang menyakitkan atas nama kearifan. Darah dan doa, api dan cita-cita, kecutnya keringat dan frustasi, teriak dan juga harapan terakhir.

Segalanya dihimpun dan dipertaruhkan, segalanya dicurahkan dan diikhlaskan. Mungkin sebab itu revolusi adalah sesuatu yang mengandung antitesisnya sendiri. ”Revolusi adalah sesuatu yang mencapekkan”, kata Jacques Sole mahaguru sejarah dari Grenoble yang pekan lalu berbicara di Yogya dalam satu seminar memperingati 200 tahun Revolusi Prancis.

Sole mengatakan ketika ia menjawab sebuah pertanyaan yang bagus dari hadirin: kenapa cita-cita Revolusi Prancis – untuk kebebasan, persamaan dan persaudaraan – begitu cepat mandek di tengah jalan. Revolusi begitu melelahkan, hingga di ujungnya, rakyat menyerah saja kepada orang kuat dengan lengan dan ambisi yang lebih kuat. Akhirnya, kebebasan hilang, persamaan punah, persaudaraan raib.

Napoleon adalah salah satu pertandanya: prajurit dari revolusi yang begitu diangkat untuk berkuasa menobatkan diri sendiri sebagai raja diraja dan menginjak segala bentuk kebebasan seperti patung gajahnya yang ingin menginjak kenang-kenangan.

Tapi barangkali antitesis revolusi bukan lahir semata-mata karena sang revolusi mencapekkan. Revolusi berangkat selalu dengan sikap ”kita-yang-paling-benar”, untuk bisa memobilisasi jiwa dan raga dan impian dan kemarahan. Maka ia niscaya cenderung mendirikan satu lemabaga yang kukuh tapi tidak ramah. Revolusi Prancis, akhirnya mendirikan sebuah republik perkasa – yang kalau perlu menindas segala niat untuk liberte, egalite, fraternite. Teror pun ditegakkan. Tokohnya, Saint-Just (nama yang terlampau sempurna untuk bisa toleran), meraung seram: ”Republik terdiri atas pembasmian apa saja yang menentangnya.”

Berapa kepala dipotong dan berapa wilayah diluluhlantakan? Pada akhirnya Revolusi Prancis melahirkan paradoks – mungkin kontradiksi – yang kemudian juga nampak dalam revolusi-revolusi besar sesudahnya. Kejadian revolusioner, seperti halnya konon penciptaan alam semesta, bagaimanapun adalah sesuatu yang sublim dan sekaligus mengerikan. Niat revolusi sendiri di satu pihak mendorong ke arah berkibarnya hak dan kebebasan manusia, tapi di lain pihak terdorong ke arah konsolidasi persatuan yang justru melindas kebebasan manusia itu, dengan darah.

”Memang perlu darah untuk menyemen revolusi,” kata seorang wanita revolusioner Prancis dengan antusias – dan ia sendiri kemudian dipancung. ”Kalau mau membuat omelet, telur harus dipecah,” kata tokoh revolusi Trotsky dengan dingin, ia sendiri, persisnya kepalanya, kemudian juga jadi telur yang pecah, dikapak seorang agen Stalin.

Maka, siapa yang ingin mengubah dunia tanpa itu semua, dengarkan saja John Lennon menyanyi. ”Yah, kita semua ingin mengubah dunia, kau tahu,” katanya. ”Tapi bila kau omong tentang penghancuran, jangan sertakan aku.” Don’t you know that it’s going to be allright, allright, allright?

Siapa tahu, John, siapa tahu.

Goenawan Mohammad # 17 Juni 1989

Kamis, 12 Juli 2012

ya

Hitler berusia 100 tahun, seandainya ia hidup terus. Tapi ia tidak hidup terus. Ia menembakkan pistol ke dalam mulutnya sendiri di hari Senin sore 30 April 1945. ia mati dalam umur 56 tahun lebih 10 hari, ketika kota Berlin dirajam peluru dan pasukan Rusia sudah diambang pintu.

Dan Jerman pun kalah, setelah perang dahsyat itu. Lalu orang seperti terjaga. Bukan dari mimpi ngeri, tapi dari sihir Hitler, barangkali. Seorang penulis pernah menyebut mata Hitler yang biru itu tajam bagaikan mata Medusa, tokoh dongeng yang dengan sorot pandangnya menjadikan siapa saja arca batu.

Di bawah Nazi, Jerman memang tak jadi patung, tapi jadi pentas gila, teater dengan wiracarita yang berteriak. Hitler tahu hebatnya pengaruh kata-kata yang dilontarkan ke tengah massa. Dan di Nurnberg di tahun 1934 ia menunjuk ini: rapat akbar Partai Nazi yang menggelegar.
Ribuan bendera swastika berkibar, di langit September, dan ketika malam musim gugur tiba, parade obor pun bergerak dibawa 15 ribu orang, berlarik bagaikan pitra cahaya di jalan-jalan kuno kota Nuremberg. Musik bergema melagukan lagu perang zaman dulu, dan suara ribuan lelaki berpadu menyanyikan lagu baris. Opera Wagner pun tak akan bisa mengalahkan efek pertunjukan seperti itu.

Dan rakyat Jerman tergetar. Yang jadi pertanyaan ialah : bagaimana Hitler bisa tahu bahwa rakyat Jerman akan menyukai teater macam itu?

Jawabnya mungkin: karena Hitler datang dari kalangan mereka. Ia bukan intelektual bukan aristokrat. Ia berasal dari kelas menengah bawah. Ia punya rasa dan punya cara berpikir lapisan ini.

Thomas Mann, pengarang besar Jerman yang membenci kaum Nazi, menulis dalam catatan hariannya tanggal 8 September 1933, ketika ia dengan Hitler berpidato tentang kebudayaan: ”Ide-ide yang ia sajikan . . . . dengan gaya yang benar-benar menyedihkan . . . . adalah gagasan seorang murid sekolah dasar yang kerja keras tapi bakatnya terbatas.”

Tapi rakyat Jerman bukanlah Thomas Mann. Bangsa yang melahirkan Kant dan Goethe itu pada dasarnya toh punya insting seperti bangsa lain juga. Insting itu tak jauh jaraknya dari suatu rasa amarah yang terpendam, mungkin juga iri dan sakit hati. Terhadap luar negeri, mereka marah karena baru kalam dalam perang 10 tahun yang lalu, dan dihukum secara merendahkan oleh lawannya. Terhadap keadaan di dalam negeri, mereka marah karena ketimpangan sosial yang tak teratasi.

Khususnya, ini terjadi di kalangan petani kecil. Telaah terkenal yang ditulis Barrington Moore Jr. – tentang asal-usul sosial-ekonomi dari totaliterianisme dan demokrasi – menunjukkan bahwa pendukung utama nazi datang dari pedalaman. Siapa yang melukiskan Hitler hanya sebagai seorang diktator yang didukung bisnis besar tak akan bisa memahami totaliterianisme, atau setidaknya tak akan tahu betapa kuat sebenarnya fasisme Hitler berakar dalam latar masyarakat Jerman pada masanya.

Pada masa itu petani kecil terancam oleh masuknya kapitalisme. Mereka memandang makelar serta bankir sebagai musuh – yang kebanyakan memang orang Yahudi. Pada saat seperti itulah Partai nazi (yang ”nasionalis” dan ”sosialis”) menawarkan alternatif, dengan kemarahannya, kebenciannya dan impiannya.

Kamu Nazi melukiskan tanah bukan Cuma sebagai sarana pencari nafkah petani, tetapi juga sesuatu yang lebih intim, malah mungkin suci, ketimbang itu. Dalam buku Mein Kampf, Hitler menunjukkan bagaimana ia menganggap barisan petani kecil dan menengah sebagai ”benteng terbaik terhadap kejahatan sosial yang kita miliki kini”. Dalam angan-anganya, industri dan perdagangan akhirnya harus mundur dari posisinya yang di depan, dan bertaut dengan kerangka ekonomi nasional ”yang berdasarkan kebutuhan dan persamaan”.

Romantis, memang, tapi juga – seperti halnya banyak ilusi – bisa menyesatkan. Hitler sendiri akhirnya harus bertopang pada kaum industrialis, untuk menjalankan ekonomi dan mesin perangnya. Tapi pada saat yang sama, ia tak hendak memberi hak-hak politik kepada lapisan masyarakat ini. Bahkan juga tidak kepada siapa saja.

Sebab berbareng dengan kemenangan Nazi, totaliterianisme telah lahir: satu wujud kehidupan politik ketika massa resah dan merasa hampa. Mereka mengharapkan pemimpin, mengharapkan gerakan, mengharapkan bimbingan. Kepada gelora itulah Hitler datang, menyerukan ide ”satu pemimpin, satu bangsa, satu ya ”. Ein Fuhrer, Ein Volk, Ein Ja. Hak untuk berbeda alias kemerdekaan? Tak perlu. Warna harus satu. Yang Yahudi, yang merah, yang hitam, yang berpikiran aneh, semua khianat: bunuh.

Kita tahu Hitler terus mengaum, sejak itu.

Goenawan Mohammad # 22 April 1989

Selasa, 12 Juni 2012

. . . topeng

Anak, yang melempar batu di Tepi Barat Kali Yordan, apakah yang kalian lakukan? ”Kami sekadar sedang berteriak ’tidaaak’ ”.

Intifadah adalah cuma sebuah teriakan. Intifadah adalah perlawanan dari mereka yang bersembunyi di balik selembar kain yang ditutupkan ke wajah. Intifadah adalah perlawanan dengan topeng, kefayeh atau bukan.

Anak-anak Palestina itu, yang melemparkan batu ke tentara yang memegang bedil semiotomatis, mengenakannya rapat-rapat. Bapak dan Ibu mereka tak mengenakannya. Mereka pakai topeng yang lain: topeng sebagai warga kota yang tak berbahaya, tapi sebenarnya tak mau tunduk.

Seorang wartawan Israel yang lama menulis tentang Tepi Barat, dan menentang pendudukan Israel di sana, pernah saya dengar berkata: ”Sebagian besar dari proses intifadah justru bersifat tanpa kekerasan, malah tanpa batu: penduduk yang menolak membayar pajak dan tak mau buka toko. Mereka melawan tapi tak bisa jadi headline”.

Bukan headline, memang. Sebab perlawanan seperti itu berjalan tiap hari, terus menerus, seperti sesuatu yang rutin. Lama. Tanpa granat dan gerilya.

Mungkin karena abad ke-20 adalah abad kekerasan, tapi juga abad tanpa kekerasan. Yang kekerasan kita sudah tahu: dua perang dunia, dua bom atom, sekian kali pembantaian, beratus ribu penyiksaan di ruang interogasi. *Yang tanpa kekerasan nampak lebih jarang, tapi inilah yang istimewa dari abad ini: perlawanan sonder bedil ternyata bisa jadi perlawanan yang efektif. Gandhi menang di India (ketika menghadapi penjajahan Inggris), Martin Luther menang di AS (ketika menghadapi penindasan terhadap orang hitam). Bahkan selama setengah abad usaha pembebasan Palestina, gerakan dengan topeng dan batu ini kini ternyata lebih mengguncang lawan ketimbang teror Abu Nidal yang bunuh sana bunuh sini.

Kenapa? Barangkali karena ide heroisme tengah berubah. Heroisme bukan lagi seorang Archiles ataupun Arjuna – yang kata dalang ”ara tedhas tapak paluning pandhe”, itu – adalah contoh keperkasaan manusia, ketika senjata-senjata masih merupakan kelanjutan tangan dan juga bagian dari pilihan hidup seseorang.

Kini teknologi sudah lain: di satu pihak daya destruktif sebuah senjata kian besar, di lain pihak persenjataan sudah kian ”ke luar” dari pribadi seseorang. Pedang samurai sudah diganti bedil, pistol Colt sudah diganti Uzi. Tak perlu lagi seorang Arjuna bertapa, tak perlu seorang Musashi yang berlatih terus, juga tak perlu seorang *Wyatt Earp yang mahir, buat menguasai senjata. Siapa saja bisa pegang bedil semiotomatis dan membasmi puluhan orang dalam 5 menit. Pada dasarnya juga siapa saja bisa menekan tombol dan sebuah peluru kendali bermuatan nuklir akan menyerbu . . .

Rasa takut, ketidakpastian yang hitam itu, jadi sah, dan kontras antara yang kuat dan lemah kian mencolok. Maka kita tergetar melihat foto dari Beijing di musim panas itu: ketika seorang anak muda, sendirian, tanpa granat di tangan, berdiri mencoba menyetop puluhan tank yang mau menghajar para mahasiswa yang berdemonstrasi di Tiananmen. Memang, kemudian kita tak dengar lagi nasib si pemuda yang kurus dan sendirian menghadang kekuasaan besar itu. Yang kita dengar suara bedil. Tentara Pembebasan Rakyat menembak, dan ratusan anak muda gugur dan Tiananmen sepi kembali. Si lemah berani, tapi tak berhasil.

Ada yang mungkin mengatakan, bahwa Cina menolak sisi abad ke-20 yang memenangkan gerakan tanpa kekerasan itu. Di Cina orang hidup dengan kenangan tentang raja-raja yang saling gempur, jago silat dari Shaolin, dan ucapan Mao tentang kekuasaan yang lahir dari ujung bedil. Di sana orang tak atau belum memakai patokan kesadaran yang selama ini berlaku di negara-negara yang bersentuhan dengan Barat: patokan yang bermula ketika orang percaya bahwa Yesus disalib tanpa melawan, tapi dia tidak kalah ataupun bersalah.

Entahlah. Saya juga tak tahu akan menangkah nati anak-anak muda yang bertopeng kefayeh di Tepi Barat Kali Yordan itu – seperti anak-anak muda di Jerman Timur dan di Cekoslowakia pada musin dingin 1989 ini, yang cukup berteriak ke udara bersalju, dan rezim-rezim gugur secara enteng seperti daun-daun tua. Mungkin orang-orang bertopeng tak harus selalu cepat menang. Tapi tak berarti mereka menyerah.

Apa senjata mereka ? Weapons of the Weak, ”Senjata Kaum Lemah”. Judul buku James C. Scott yang cemerlang. Ia melukiskan bagaimana orang-orang miskin di sebuah dusun Malaysia menjalankan perlawanannya terhadap si kaya, sehari-hari, terus-menerus. Bukan dengan revolusi, bahkan bukan dengan batu. Tapi dengan cara mereka bersikap, bertutur, bertindak, mereka menampik hegemoni yang mau membisukan mereka.

Dan semesta sejarah sebenarnya penuh dengan ”senjata kaum lemah” itu. Mereka seperti patuh tapi sebenarnya tidak, bilang inggih tapi menolak untuk kepanggih. Nah, jika Tuan bilang orang desa itu suka kehidupan yang selaras, mungkin Tuan tak tahu permusuhan dan kepedihan apa yang sembunyi di balik topeng ”selaras” itu.

Goenawan Mohammad#16 Desember 1989

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons