Rabu, 12 Desember 2012

kanvas

Sembilan puluh sembilan tahun yang lalu, di kota Arles yang sunyi, ia memotong kupingnya untuk dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dua tahun kemudian, ia menombak perutnya sendiri, di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di kota Auvers. Tiga puluh enam jam setelah itu Vincent van Gogh mati.

Ia mati tak punya apa-apa dalam usia 37, tapi di tahun 1987 ini, hampir seabad kemudian, sebuah lukisannya dilelang dan dibeli oleh perusahaan asuransi Yasuda di Tokyo dengan Rp 65 milyar. Itu kurang lebih sama seperti harga 500 buah mobil Mercedez Benz. Majalah Eksekutif pun menyebut lelang lukisan Bunga Matahari karya Van Gogh di London sebagai ”lelang terbesar abad ini”. Riwayat Van Gogh memang penuh kejadian yang layak untuk sebuah biografi hebat, dan tak aneh bila 30 tahun yang lalu Kirk Douglas memainkannya (dengan sejumlah bumbu Holywood) dalam Lust for Life. Tapi apa yang luar biasa? Orang telah terbiasa dengan cerita anekdotis tentang seniman yang hidup gila-gilaan dan aneh dan berantakan: kita sudah menonton Amadeus atau mendengar tentang Chairil Anwar yang makan sate mentah dan mati muda.

Seniman, agaknya, telah menjadi semacam keistimewaan – punya semacam privilese untuk tak dinilai dengan ukuran orang biasa. Saya tak tahu persis darimana dan sejak kapan semua itu berasal. Kakek nenek kita di kampung dulu rasanya tak pernah mengenal seniman sebagai kategori tersendiri. Buku Umar Khayam yang menarik, Semangat Indonesia, satu rekaman selintas tentang kehidupan kesenian rakyta di Indonesia, menunjukan bagaimana orang membuat seni (di Nias, di Bali, di pedalaman Irian) bukan hanya untuk ”keindahan” melainkan bagian dari alat kerja dan upacara – tanpa tepuk tangan.

Tapi mengapa Bunga Matahari Van Gogh ternyata dibeli orang dengan Rp 65 milyar? Kenapa orang tak datang saja ke museum Van Gogh di Amsterdam, yang necis dan penuh cahaya di musim panas, atau membeli reproduksinya – cukup bagus – dengan harga tak sampai Rp 10 ribu?

Jawabnya, mungkin: ada manusia yang memang tak cuma kepengin benda-benda yang akhirnya bisa diraih oleh banyak orang, betapapun mahalnya. Ia juga menginginkan sesuatu yang oleh seorang ahli ekonomi disebut sebagai ”kekayaan olirgakis”, yakni hal-hal yang, saking langkanya akhirnya hanya bisa dimiliki oleh satu dua pribadi, walaupun orang lain mampu membelinya. Ironi Van Gogh ialah bahwa ia, yang bermula denga melukis petani miskin di Borinage, kemudian menjadi unsur dalam kekayaan olirgakis itu.

Tapi untunglah: keindahan tak cuma hadir dalam sebuah lukisan seharga sekian puluh milyar. Kita toh bisa melihat ada yang indah pada etalase toko Esprit di Singapura, stempel karet di kaki lima Malioboro, sampul kaset musik jazz Chandra Darusman – pada segala sesuatu yang sehari-hari, yang sementara, yang sepele. Bukankah di Bali juga keindahan didapat pada patung keramik yang besok mungkin pecah?

Memang – dan sejumlah seniman, dengan semangat besar, mengukuhkan itu, ketika mereka mengumumkan diri sebagai Gerakan Seni Rupa Baru, dan dalam sebuah pameran di Taman Ismail Marzuki yang menarik, memaparkan iklan dan stiker dan kalender dan kaus oblong dari sembarang pojok. Tak berarti ada sesuatu yang baru dalam pendirian mereka. Penulis kritik seni Bambang Budjono, misalnya, bisa menyebutkan bahwa di tahun 1938 sebuah pameran para ”ahli gambar” Indonesia, diikuti juga oleh pelukis poster bioskop – suatu bukti, agaknya bahwa, di Indonesia, sejak dulu, orang memang bisa berkesenian tanpa merasakannya sebagai suatu privilese. Orang bisa berkesenian dengan cara yang sangat ringan: sebagian dari hidup yang biasa dan tidak menakjubkan.

Keindahan, karena itu, memang bukan monopoli elite –terutama elite sosial, yang di Indonesia kini nampak masih gugup dan canggung mencari selera. Apa yang indah bagi ”orang sekolahan” tak bisa dipaksakan sebagai indah bagi orang pinggiran. Tapi dengan sikap toleran dan demokratis sekalipun tak berarti keindahan tak menyembunyikan hierarkisnya sendiri, apapun kriterianya: lukisan ”Gerilya” S. Soedjojono bagi saya lebih menggetarkan ketimbang lukisan ”Jaka Tarub” Basuki Abdullah. Iklan dalam majalah Interview Andy Warhol lebih memukau ketimbang iklan ribut pabrik kaset ”JK Records” dalam Tempo. Singkat kata, yang satu punya tingkat yang berbeda dibanding yang lain. Di sini, tak ada perlakuan yang sama. Di sini, apa yang disebut ahli sosiologi Daniel Bell sepuluh tahun yang lalu sebagai ”The democratization of genius” – lahir dari semangat ”kerakyatan” dalam kesenian barat yang meledak di tahun 1960-an – menjadi hal yang mustahil.

Sebab ”demokratisasi kejeniusan” berarti peniadaan kejeniusan itu sendiri. Sementara itu, kejeniusan adalah bagian yang tak bisa ditolak dalam proses ketika manusia menciptakan kebudayaan. Kejeniusan mendorong kita ke pintu yang lebih luas. Kejeniusan itu bernama Van Gogh, yang ingin melukis terus, intens, sampai gila, seraya bertanya, ”Buat apa?”

Mungkin ia tak tahu apa jawabnya. Tapi kita tahu apa yang diberikannya kepada kita, lewat kepedihannya. Dan itu bukan sebuah kanvas seharga Rp 65 milyar.

Goenawan Mohammad # 27 Juni 1987

Senin, 12 November 2012

bhargawa

Resi Bhargawa meletekkan tubuhnya yang kukuh di bawah pohon-pohon hutan yang memberat. Tidur.

Di dekatnya, dengan setia, Radheya menyediakan diri jadi bantal bagi gurunya. Ia memangku kepala yang besar dan perkasa dengan rambut panjang yang terjalin keras itu. Ia merasakan kebahagian yang dalam – bahagia seorang yang ingin mengabdi, ingin menghormati – karena tahu; yang ia jaga adalah ketentraman seorang yang selama ini membagikan kepadanya ilmu dan kepiawaian.

Dan Resi Bhargawa pun tertidur berjam-jam, dan Radheya duduk menyangganya berjam-jam, tak bergerak, membisu. Hanya hatinya tidak membisu. Hari itu menjelang hari terakhirnya berlatih dengan bagawan yang termasyhur itu.

”Terima kasih, guru, kau telah terima penghormatanku – telah kau terima diriku. Aku tak pernah melupakan hari itu, tujuh tahun yang lalu, ketika aku berbuat pertama kalinya mengetuk pintu asramamu dan kau bertanya, ”Siapakah engkau, anak muda?”

”Aku tahu, guru, tuan tak hanya menginginkan sebuah nama. Tuan menanyakan sebuah niat, dan sebuah riwayat – jalan panjang yang menyebabkan aku, seorang dari keluarga tak ternama, datang dan menyatakan akan belajar kepadamu. Aku bergetar, guru, engkau begitu dahsyat. Dan aku tahu aku tak akan pernah bisa menjawab.

”Sebab, aku hanya tahu cerita ini: Seorang remaja telah datang dari pedalaman. Ia dibesarkan oleh seorang sais kereta yang konon bukan ayahnya sendiri – sebab anak itu tumbuh dengan keingan lain yang tak pernah dikhayalkan orang tuanya. ”Engkau memang cuma anak pungut kami, buyung”, kata wanita yang selam ini menjadi ibunya dengan terisak-isak, ”mimpimu bukan mimpi kami.”

”Jadi, siapakah dia, guru? Yang ia tahu pasti ia diberi nama Radheya, dengan hasrat yang ganjil dan tinggi: menjadi seorang pemanah ulung, seperti yang didengarnya dari cerita Ibu, tentang perang dan para bangsawan. Lalu pada suatu hari ia datang ke guru termasyhur itu, Resi Durna. Tapi ditolak. Ia cuma anak seorang suta – bukan kelas yang berhak dengan ilmu peperangan.
”Maka, ia pun berdiri, Resi, di depan gerbang asramamu, dengan lutut menggeletar. Dan ia harus memberikan keterangan. Hari itu kurasakan, dalam pertanyaan pertamamu, ujung pisau yang meraba sarafku. Tapi akhirnya engkau menerimaku. Tak ada riwayat yang lebih bersinar-sinar dalam diriku, selain menjadi muridmu, menerima ilmumu, menerima kepercayaanmu . . . .

”Meskipun aku telah menjustaimu. Hari itu kukatakan kepadamu, ”Hamba anak seorang brahmana jauh di pedalaman Hastina’, dan kau percaya. Kau berikan ilmu kepadaku dengan kepercayaan itu. Kau jadikan aku murid utamamu sampai tuntas, tanpa kau tahu kebohonganku.

”Maafkan, aku, guru. Aku bukan anak Brahamana. Aku tak tahu aku anak siapa – jika benar aku hanya anak pungut seorang suta. Toh aku tak bisa mengaku berasal dari kalangan ksatria yang kau benci itu – orang-orang yang kau anggap sesat, orang-orang yang membakari hutan pertapaan lalu membangun kerajaan di atas mayat dan ketakutan. Aku bukan anak musuhmu, guru, meskipun aku tak datang dari kaummu. Aku adalah aku, Radheya, muridmu. . . . ”
Dan berjam-jam sang guru tertidur, dan berjam-jam sang murid mengabdi. Sampai menjelang senja, sesuatu terjadi. Seekor serangga ganas memagut paha anak muda itu. Darah menetes. Rasa sakit menguasai seluruh tubuhnya. Ia tak ingin menyebabkan gurunya – yang dikasihinya itu – terbangun. Kesakitan itu, baginya, adalah bagian dari tugasnya, dari baktinya.

Tapi darah menetes ke muka Bhargawa. Sang resi terbangun. Dilihatnya apa yang terjadi: muridnya, dengan wajah pucat menahan sakit, dan tubuhnya demam, tetap duduk seperti berjam-jam yang lalu, tak bergeming. Bhargawa pun meloncat bangun dan memegang bahu Radheya yang menggigil. ”Kau sakit, kau terkena racun. Apa yang terjadi?”

Radheya menceritakan apa yang terjadi. Dan Bhargawa mendengarnya dengan takjub – dan sesuatu tba-tiba tersirat dalam wajah anak ini, yang teguh, yang angkuh menahan kepedihan, yang seakan-akan mencemooh penderitaan yang bagi orang lain tak akan tertahankan. ”Wajah itu”, Bhargawa tiba-tiba menyimpulkan, seakan-akan sebuah mimpi buruk baru saja mengilhaminya. ”Sikap itu – keangkuhan itu – ”. Ia kenal. Anak muda yang dihadapinya ini mengingatkannya kepada wajah para ksatria, musuhnya, yang pernah roboh ia kalahkan, tapi tak menyerah.

Tanpa berkata-kata, ia pun meninggalkan Radheya di bawah pohon itu. Murid itu pun pelan-pelan berjalan ke arah asrama, tanpa ia merasa sesuatu telah hilang dari gurunya. Malam itu Bhargawa memang yakin: kecurigaannya selama ini tentang Radheya memang terbukti. Anak itu, yang telah diberinya pelbagai ilmu oerang yang tinggi, berasal dari kalangan musuh. Mungkin ia mata-mata . . . .

Ketika pagi datang, sang guru mengusir sang murid. Ia kecewa dan ia mengutuk ketika anak itu mengaku selama ini ia menjustainya. Baginya justa adalah justa. Juga dari seorang yang belum bisa menjawab siapa dirinya.

Goenawan Mohammad # 11 April 1987

Jumat, 12 Oktober 2012

fan

Seorang wanita, dalam sebuah pertemuan, pernah diketahui mengeluarkan bau yang ganjil di antara parfumnya. Seperti bau tembakau apak. Kemudian wanita bangsawan dalam istana Weimar itu mati.

Ternyata, di lehernya terpasang sebuah kalung, dengan kotak kecil sebagai medalion. Orang pun membukanya. Isinya: betul, tembakau apak. Persisnya sekerat puntung.

Adapun puntung itu berasal dari cerutu yang pernah diisap oleh Komponis Franz Liszt di sebuah jamuan makan 30 tahun sebelumnya. Si wanita bangsawan rupanya kepingin mendapatkan satu tanda mata dari musikus romantis yang termasyhur itu, yang agaknya diimpikan setiap hari, sampai mati, Mein Liebestraum . . . .

Kita boleh percaya boleh tidak kepada cerita dalam kenang-kenangan Ford Madox Ford itu, tapi satu hal memang masuk akal: pelbagi tingkah aneh, lucu, mengharukan, mengganggu, atau berbahaya bisa dilakukan sejumlah manusia yang begitu getol memuja satu tokoh atau sesuatu yang bukan tokoh dalam hidup mereka. Fan,menurut The New Oxford Illustrated Dictionary, merupakan singkatan dari kata ”fanatik”. Dan Napoleon (yang punya sejumlah besar fan) rupanya tahu benar perkara itu ketika mengatakan, ”Tak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat”.

Sehat? Tidak Sehat?

Seorang pengagum, seorang pemuja, di dalam dirinya menyimpan sesuatu yangbisa disebut sebagai kesedian ”berkorban”. Dan pengorbanan diri tak selamanya dianggap sakit”.
Pemuja Liszt itu berkorban dengan bersedia menerima bau tembakau apak. Seorang gadis Inggris di Benfleet, di tengah kegandrungan Piala Dunia 1986, menunjukkan kesedian yang tak kalah intens: ia membayar tiga poundsterling kepada seorang ahli hukum untuk mengubah nama. Semula: Janiece Harris. Kini: Jandiego Janiece Jennifer Dorothy Arsenal Maradona. Nama ”Arsenal” ia ambil dari klub favoritnya. Nama yang lain kita tahun darimana datangnya.

Pengorbanan seperti itu (kita bisa bayangkan bagaimana repotnya kini Janiece mengisi KTP) memang bukan bandingan kisah-kisah tindakan besar dalam skala Siti Masyitoh atau Santo Sebastian: orang-orang yang bersedia mati, dengan rasa sakit, untuk sesuatu yang lebih agung – atau lebih penting – ketimbang seorang musikus atau seorang jagoan bola. Tapi kasus serupa, meskipun dengan derajat yang berbeda-beda, selalu terdapat satu hal: hati yang bergelora. Dari sana ada passion.

Tak begitu pasti kenapa ada hal-hal yang tertentu dalam hidup ini bisa menyalakan gelora hati, terutama bila hal tertentu itu adalah sepak bola. ”Tak ada penjelasan yang tunggal kenapa 22 orang laki-laki bercelana pendek yang sibuk mengejar-ngejar sebuah bola bisa menyebabkan jutaan orang terkesima, sejak dari Patagonia sampai dengan Praha”, tulis wartawan Reuter tentang Piala Dunia di Meksiko itu, yang diikuti dimana-mana dan berhari-hari, bahkan, seperti halnya di Indonesia, pada pukul 01.00 pagi. Seorang makhluk E.T. yang dari pesawatnya di ruang angkasa meneropong ke bumi 30 Juni yang lalu, ketika pertandingan final berlangsung, mungkin akan menyangka makhluk numi sedang kena sihir primitif yang mahakuat – yang memancar dari sebuah benda bulat kecil nun jauh di tengah lapangan di sebuah kota di benua Amerika.

Memang ada semacam sihir dalam tiap passion. Mungkin karena itulah di tahun 1970 orang-orang El Salvador dan Honduras saling panas, setelah sebuah pertandingan besar, dan perang meletus antara kedua negara itu. Mungkin itu pula sebabnya di Belgia, di Stadion Heysel di tahun 1985, 40 orang mati karena bentrokan.

Apa pun sebabnya, passion seperti itu – yang merundung jutaan manusia dengan bermacam-macam tingkat IQ – bisa disimpulkan sebagai ciri sebuah masa yang telah menjebol aristokrasi. Kini para fan tidak terbatas hany pada satu dua wanita bangsawan yang ingin menyimpan momento seorang musikus kelas atas. Bob Geldof maupun musuhnya, para pembajak kaset rekaman, tahu benar hal itu. Kini orang banyak – yang dengan tepat disebut ”orang kebanyakan” – telah memperdengarkan selera mereka, atau dengan kata lain, diri mereka. Dari situlah kata ”laris” menjadi memikat.

Bahkan perang juga perlu laris: perang tak lagi semata-mata hanya sport para raja dan tentara profesional. Kekalahan Austria yang sangat cepat di tahun 1866 adalah, setidaknya menurut sebagian ahli sejarah, karena wangsa Hapsburg tak bisa melihat bahwa kekuatan bisa datang dari gelora hati orang banyak – yang telah melahirkan nasionalisme (dan juga demokrasi). Dengan kata lain: keterlibatan massal. Lawannya, Prusia, sebaliknya: Bismarck bukan Cuma berhasil menyatukan Jerman, tapi ia juga berhasil membuat negara dan masyarakat sipil jadi satu keterpaduan yang bergelora. Maka, ia pun menang, dan wangsa Hapsburg runtuh.

Beberapa tahun sebelumnya, ketika berbicara tentang sejarah, Hegel memang sudah menulis: ”Tak ada hal besar di dunia telah tercapai tanpa passion.” Teknik, perencanaan, ketertiban memang menjanjikan hasil yang diperhitungkan, tapi jika ada pelajaran yang bisa ditarik dari pertandingan besar sepak bola, maka itu adalah satu hal: tanpa orang banyak, tanpa fan, yang gandrung dan tergila-gila, permainan di sana itu akan segera kehilangan makna.

Goenawan Mohammad # 5 Juli 1986

Rabu, 12 September 2012

hello, darkness

Anda mungkin masih ingat The Graduate. Di layar putih itu, Dustin Hoffman pulang setelah lulus dari perguruan tinggi. Tapi ia merasa segalanya kosong, seperti gelembung, ruang-ruang rumahnya yang besar, rasa bangga dan ambisi bapak-ibunya, juga omongan para tamu. Kehidupan yang tampak tentram itu, yang dilingkungi jalan bersih dan aman, hanya seperti lukisan kalender. Si anak pulang, tapi ia hanya melayang-layang.

”Hello, darkness . . .”. Kita dengar di latar belakang Simon and Grafunkel menyanyi, lirih seperti melamun. Dan ketika si anak muda berzina dengan ibu pacarnya, tetangga papi-maminya, kita tahu juga lanjutan kekosongan sebuah lingkungan kelas menengah yang seperti sedang kena anastesi.

Lalu si anak pun memberontak. Selamat tinggal hidup borjuis.

Tapi itu Amerika pada tahun 60-an, Amerika yang sedang muak dengan segala yang materialistis dan kelas menengah. Amerika dalam dasawarsa 80-an kini adalah Amerika lain: Amerika-nya Tom Cruise yang terkesima mendengar bahwa “Rakus itu bagus” dalam Wall Street. Atau Amerika dalam film Risky Business, ketiko konon Tom Cruise jadi seorang murid sekolah menengah yang membiarkan seorang pelajar membuka bordil di rumah orang tuanya. Perempuan itu pun dengan bersemangat tanpa rasa bersalah, tanpa ragu – bekerja. “What a capitalis,” kata Tom Cruise setengah bingung setengah kagum.

Maka kata seorang penulis pada masa The Graduate bisnis dianggap sama dengan prostitusi, pada masa Tom Cruise tak perlu dibedakan mana bisnis dan mana prosititusi.

Zaman memang berubah – dan tak Cuma di Amerika Serikat. Jika seorang wartawan New York bernama John Taylor bercerita tentang “kultur kekayaan dan kekuasaan pada tahun 1980-an (dalam Cirsus of Ambition), jika ia bicara tentang mahajutawan Donald Trump yang menghancurkan ukiran bersejarah di sebuah gedung tua yang dibelinya, jika ia bercerita tentang para yuppies dan “pangeran Wall Street” yang hidup gemerlap dengan uang yang bukan miliknya, kita juga – di Jakarta – merasa cerita seperti ini adalah rekaman tentang sebuah gaya yang menular.

Pemeo di Jakarta yang ering kita dengar, “uang punya kuasa” kini seakan digaris-bawahi tebal-tebal kekayaan sudah jadi ukuran tunggah yang sah. Dulu orang bisa merasa tetap utuh harga dirinya tanpa punya benda-benda besar. Seorang guru bisa tetap merasa seperti seorang ksatria: gajinya kecil tapi ia merasa terhormat karena mengabdi kepada sesuatu yang lebih agung. Kini siapa lagi yang demikian?

Ya, zaman memang berubah. Ada masanya para nabi dan para demonstran mengecam kekayaan. Kecaman itu tak selamanya berarti mengandung niat hendak mensakralkan kemiskinan. Tapi kini nampaknya orang bukan saja hendak menyatakan sikap kaya yang tanpa rasa berdosa. Orang bahkan ingin mensakralkan: kekayaan yang berlimpah setidaknya bisa saja dikaitkan dengan ibadah.

Di Amerika, Bakker, penginjil televisi itu, sempat mengumpulkan uang begitu rupa, dan punya rumah begitu rupa, dan kandang anjing begitu rupa, bersar dan ber-AC. Ia akhirnya dijatuhi hukuman sebagai penipu, namun para pengikutnya tetap (juga setelah ia dibuktikan bersalah) melihat si bapa penginjil ada di jalan Tuhan.

Dan Bakker tak sendiri. Hal yang serupa bisa terjadi di Indonesia, dengan sedikit variasi. Bukankah orang Islam juga pernah dianjurkan untuk “bekerja buat dunia seperti hendak hidup selama-lamanya dan bekerja untu akhirat seperti hendak mati besok”, sering dengan kesimpulan bahwa tak ada salahnya dapat dua jenis surga sekaligus, dalam arti punya dua Baby Benz dan dua gelar haji?

Saya tak tahu adakah ini hanya satu “mode” yang melintas, sebuah demam zaman, ataukah ini tanda akhir yang menampakkan bahwa manusia memang “cuma begitu” : makhluk yang menginginkan surga sebanyak-banyaknya, kini dan nanti.

Yang pasti, keperluan setiap individu untuk harta, benda, waktu, kesempatan, apalagi kekuasaan, akhirnya akan terbentur pada satu batas: jutaan individu lain juga lambat atau cepat menghendaki hal-hal yang sama. Dengan kata lain, kehidupan sosial dan ekonomi dan politik akan selalu terdiri dari pergulatan untuk “peroleh bagian”. Ada yang akan menang dan ada yang akan kalah.

Bahaya terbesar akan tiba bila tanda kemenangan jadi hanya satu, dan ukuran kemenangan jadi hanya tunggal, ketika kekayaan materi tak bisa dipisahkan lagi dari kekuasaan atau dari kehormatan sosial, bahkan dari standar perilaku dan harga diri. Sebab dalam keadaan seperti itu, siapa yang kalah di satu hal akan kalah di segala, dan tamat.

Goenawan Mohammad # 4 November 1989

Minggu, 12 Agustus 2012

revolusi, kata john lennon

Para diktator suka punya mimpi yang mustahil. Napoleon, misalnya: ia tidak saja ingin membereskan masa kini dan mengatur masa datang; ia juga ingin mengarahkan masa lalu.

Ia sudah memberangus pers dan kini ia coba berangus kenang-kenangan. Ia nyatakan bahwa Revolusi Prancis, yang meletus tahun 1789, berakhir pada tahun 1799. lalu ia dirikan sebuah patung gajah. Diharapkan agar Revolusi Prancis, yang tiap tahun diperingati pada hari dihancurkannya Penjara Bastille itu, berangsur-angsur dilupakan orang. Dengan satu monumen gajah besar, yang dibangun dalam posisi menginjak tempat penjara Bastille dulu diruntuhkan, ia seperti mau menghapus bekas: jejak sebuah episode.

Tapi ternyata semua gagal. Bangunan yang mulai didirikan pada tahun 1814 itu akhirnya rontok pada tahun 1846. napoleon sendiri akhirnya kalah perang, dan kita ingat ia mati di pembuangan.
Sebaliknya, Revolusi Prancis tetap diperingati. Pada tahun 1989 ini sejarawan Simon Schama menulis dalam Citizens, sebuah cerita panjang yang memukau tentang Revolusi Prancis: ”The elephant of Deliberate Forgetfullness was . . . no match for the Persistence of Revolutionary Memory”. Si Gajah Sengaja-Lupa rupanya kalah bertanding dengan Kenangan-Alot-Revolusi.
Kenapa ? Kenapa kenangan tentang revolusi tak pernah bisa jadi nasi basi?

Karena revolusi adalah sebuah Kurusetra: di sana ada begitu banyak wajah manusia dalam ekspresi yang paling intens. Baca saja sketsa Idrus tentang Surabaya di tahun 1945. Tindakan heroik untuk satu ide yang tak tanggung-tanggung. Kebuasan yang dahsyat atas nama keadilan. Pengkhiatan yang menyakitkan atas nama kearifan. Darah dan doa, api dan cita-cita, kecutnya keringat dan frustasi, teriak dan juga harapan terakhir.

Segalanya dihimpun dan dipertaruhkan, segalanya dicurahkan dan diikhlaskan. Mungkin sebab itu revolusi adalah sesuatu yang mengandung antitesisnya sendiri. ”Revolusi adalah sesuatu yang mencapekkan”, kata Jacques Sole mahaguru sejarah dari Grenoble yang pekan lalu berbicara di Yogya dalam satu seminar memperingati 200 tahun Revolusi Prancis.

Sole mengatakan ketika ia menjawab sebuah pertanyaan yang bagus dari hadirin: kenapa cita-cita Revolusi Prancis – untuk kebebasan, persamaan dan persaudaraan – begitu cepat mandek di tengah jalan. Revolusi begitu melelahkan, hingga di ujungnya, rakyat menyerah saja kepada orang kuat dengan lengan dan ambisi yang lebih kuat. Akhirnya, kebebasan hilang, persamaan punah, persaudaraan raib.

Napoleon adalah salah satu pertandanya: prajurit dari revolusi yang begitu diangkat untuk berkuasa menobatkan diri sendiri sebagai raja diraja dan menginjak segala bentuk kebebasan seperti patung gajahnya yang ingin menginjak kenang-kenangan.

Tapi barangkali antitesis revolusi bukan lahir semata-mata karena sang revolusi mencapekkan. Revolusi berangkat selalu dengan sikap ”kita-yang-paling-benar”, untuk bisa memobilisasi jiwa dan raga dan impian dan kemarahan. Maka ia niscaya cenderung mendirikan satu lemabaga yang kukuh tapi tidak ramah. Revolusi Prancis, akhirnya mendirikan sebuah republik perkasa – yang kalau perlu menindas segala niat untuk liberte, egalite, fraternite. Teror pun ditegakkan. Tokohnya, Saint-Just (nama yang terlampau sempurna untuk bisa toleran), meraung seram: ”Republik terdiri atas pembasmian apa saja yang menentangnya.”

Berapa kepala dipotong dan berapa wilayah diluluhlantakan? Pada akhirnya Revolusi Prancis melahirkan paradoks – mungkin kontradiksi – yang kemudian juga nampak dalam revolusi-revolusi besar sesudahnya. Kejadian revolusioner, seperti halnya konon penciptaan alam semesta, bagaimanapun adalah sesuatu yang sublim dan sekaligus mengerikan. Niat revolusi sendiri di satu pihak mendorong ke arah berkibarnya hak dan kebebasan manusia, tapi di lain pihak terdorong ke arah konsolidasi persatuan yang justru melindas kebebasan manusia itu, dengan darah.

”Memang perlu darah untuk menyemen revolusi,” kata seorang wanita revolusioner Prancis dengan antusias – dan ia sendiri kemudian dipancung. ”Kalau mau membuat omelet, telur harus dipecah,” kata tokoh revolusi Trotsky dengan dingin, ia sendiri, persisnya kepalanya, kemudian juga jadi telur yang pecah, dikapak seorang agen Stalin.

Maka, siapa yang ingin mengubah dunia tanpa itu semua, dengarkan saja John Lennon menyanyi. ”Yah, kita semua ingin mengubah dunia, kau tahu,” katanya. ”Tapi bila kau omong tentang penghancuran, jangan sertakan aku.” Don’t you know that it’s going to be allright, allright, allright?

Siapa tahu, John, siapa tahu.

Goenawan Mohammad # 17 Juni 1989

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons