Minggu, 24 Juli 2011

CATATAN PINGGIR : Adiluhung

Tuan Adigang hidup di sebuah rumah ber-AC sentral yang sejuk, naik Mercy Tiger dan mengenakan arloji Rolex Oyster. Tapi ia, yang nama lengkapnya Drs. Adigang Adigung Adiguna, juga mengagumi Ronggowarsito.

Baginya, pujangga Jawa abad ke-19 itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya di tahun 1987 yang baru berakhir ini. Ronggowarsito, katanya suatu ketika, adalah puncak kebudayaan. Dia menunjukkan sesuatu yang adilihung.

Anda tahu apa arti adiluhung? Bila orang yang diajaknya bicara tak tahu, Tuan Adigang akan dengan cepat mengutip kamus Jawa-Inggris susunan Elinor Clark Horne, terbitan Yale University Press tahun 1977. Kata itu berarti of outstanding quality, atau highly esteemed. Suatu sifat yang menunjukkan ketinggian mutu, keindahan dan kehalusan, juga keluhuran.

Itulah proses terakhir suatu seni dan budaya, kata Tuan Adigang suatu ketika. Sesuatu yang klasik. Sesuatu yang harus dijaga, karena ia dapat melindungi pribadi kita dari segala hal yang dekaden, kampungan, kasar, yang hanya memenuhi nafsu-nafsu rendah, seperti nampak pada kebudayaan modern, yang sensual murah dan hiruk pikuk.

Anda mungkin akan bertanya: apa yang adiluhung pada Ronggowarsito ? Apa yang klasik? Jika itu berarti karya Ronggowarsito adalah karya lama yang tetap menggugah, bukankah Ronggowarsito hidup dan menulis tiga abad setelah Shakespeare, dalam zaman ketika manusia sudah mengenal kapal api dan terusan besar dan gerakan sosialisme internasional? Dengan kata lain, tidakkah sang penyair Kalatida juga termasuk kurun modern”?

Tapi, tentu saja, Tuan Adigang bisa menjelaskan; kemodernan bukanlah sekadar soal catatan tahun. Kemodernan (yang bagi Tuan Adigang hampir sama dengan kemerosotan mutu, jika itu, “menyangkut dunia rohani”, katanya) adalah masalah pandangan. Dalam hal ini, Ronggowarsito bukan sembarangan. “Coba saja baca tulisan-tulisannya,” kata Tuan Adigang. “Tidak sembarang orang bisa menafsirkan isinya, isyarat dan ajarannya.”

Tulisan Ronggowarsito, seperti banyak karya sastra Jawa abad lalu, memang tak mudah dipahami. Bentuknya, yang berupa tembang, tersusun dalam serangkaian kata yang sulit. Jadi, Tuan Adigang benar. Dan rupanya orang mudah menganggap ketidakmudahan itu sebagai sesuatu yang mengandung misteri, dan misteri berarti kegaiban, dan kegaiban berarti kesaktian. Ronggowarsito pun menjadi legenda.

Maka, sebagai legenda, ia pantang ditelaah dengan analisa yang kritis. Ia bahkan tak lagi dianggap orang normal. Pernah sebuah harian memuat diskusi cukup panjang, setengah meragukan bahwa Ronggowarsito, suatu ketika dalam hidup, pernah berhutang.

Tak bisakah kita menyalahkan itu semua, juga Tuan Adigang? Ia bukan Purbatjaraka. Guru besar ini, yang begitu intim dengan kesusastraan tradisional, mungkin satu-satunya orang Jawa yang berani mengecam, dengan keras tapi dingin, karya Ronggowarsito. Baca, misalnya, Kasustraan Djawi, telaah Purbatjaraka yang terbit sekitar 30 tahun yang lalu. Purbatjaraka memandang Ronggowarsito cukup sebagai seorang pengarang – dan itu saja.

Kemudian adalah seorang wanita bernama Nancy K. Florida. Ia seorang peneliti Amerika yang beberapa tahun lalu menelaah karya-karya sastra Jawa. Baru-baru ini ia menulis sebuah esei yang menarik tentang sikap umum di masa kini terhadap kesusastraan Jawa tradisional. Florida, dalam Majalah Indonesia terbitan Cornell University nomor Oktober yang lalu, menunjukkan bagaimana sebuah kesusastraan akhirnya hanya jadi sebuah “jimat yang berdebu”, a dusty fetish : dianggap begitu luhur hingga tak hendak dibaca.

Akibatnya ialah sebuah kekeliruan yang bisa lucu. Florida suatu ketika menunjukkan satu contoh karya Ronggowarsito kepada seorang mahasiswa Solo, yang ingin menyanyikan suatu tembang tradisional dengan diiringi gitar – mungkin mengikuti kreasi Gombloh. Tembang itu diambil Florida dari Serat Jayengbaya. Si mahasiswa tak selesai membacanya karena tergelak-gelak. Isi tembang itu adalah sebuah cemooh yang ganas dan terang-terangan, tentang guru yang berlagak pintar dan tentara yang berlagak berani. Sang pujangga adiluhung ternyata juga seorang yang bisa kocak, dan cukup kasar. . . .

Tapi memang buat apa sebenarnya mengangkat kesusastraan jadi bagian dari sesuatu yang adiluhung, ketika itu berarti seperti mutiara pada tajuk: elok tapi beku? Bagi Tuan Adigang, jawabannya mungkin khas untuk orang seperti dia masa kini : Ronggowarsito juga seperti arloji Rolex Oyster dan sedan Mercy Tiger. Ia sesuatu yang tak mudah diraih orang lain, sesuatu yang menjaga statusnya, dan sebab itu harus dijaga pula. Kalau perlu dengan legenda.

2 Jan 1988

Minggu, 17 Juli 2011

CATATAN PINGGIR : Komunis

Di sebuah pabrik di Daratan Cina, ada tembok yang tak lagi dihiasi kutipan Mao. Sebaris kalimat lain yang kini terpampang : “Waktu adalah uang”. Di pasar Xao di Vientiane, Laos, yang sejak 1976 di bawah kekuasaan komunis, seorang saudagar kecil yang sekarang boleh berdagang dengan lebih leluasa berkata dengan kegembiraan yang berlebihan, “Kami sebebas di Amerika.”

Tidak sebebas itu tentu, cara pembangunan ekonomi yang dimulai oleh Stalin pada akhirnya macet. Ada masanya perencanaan yang sentralistis, dengan segala hal dikuasai negara, memang membuahkan pertumbuhan yang tinggi. Ada “pemerataan” – meskipun dengan catatan : para pemimpin partai mendapat privelese yang besar.

Tapi para birokrat yang harus memutuskan volume serta tujuan dari 24 juta produk yang satu sama lain berbeda-beda akhirnya toh pusing juga dan cenderung dan berlaku serampangan. Pertumbuhan GNP yang semula bisa mencapai 5% setahun dalam dasawarsa ini mengempis menjadi 2%. Dan Gorbachev pun ingin jadi juru selamat ketika menyerukan uskorenie atau akselarasi.

Ia tentu saja belum membiarkan orang macam Gekko hidup di Moskow seperti dalam film Wall Street, yang berseru bahwa “rakus itu bagus”. Gorbachev hanya mengaktifkan gerakan koperasi. Tapi para komunis garis-lama tahu bahwa koperasi itu ibarat serigala kapitalis yang berbulu domba sosialis – dan mereka sebenarnya tak begitu keliru: ada sekitar 14 ribu koperasi, dengan anggota sekitar 150 ribu di Uni Soviet yang hidup lebih nyaman ketimbang mereka yang bekerja di perusahaan negara.

Majalah The Economist pekan ini menulis bahwa di Uni Soviet koperasi sering dimusuhi para pejabat setempat dan pemimpin perusahaan negara, yang iri. Tapi Gorbachev kini menggariskan bahwa rasa iri tak boleh melahirkan permusuhan, melainkan persaingan. Beberapa ribu mil merah dari Kremlin, di Beijing, Cina, sebuah risalah di koran resmi Harian Rakyat juga menyimpulkan kekhilafan sosialisme: “Masyarakat sosialis tak dapat melenyapkan kompetisi”.

Bagaimana bila kompetisi itu akhirnya melahirkan yang menang dan yang kalah? Tak apa, kata Gorbachev. Tak apa, kata Harian Rakyat: dalam persaingan itu beberapa orang memang akan lebih dulu jadi kaya.

Orang akan bilang bahwa sosialisme yang tak bicara pemerataan bukanlah sosialisme. Tapi mau apa? Di Cina, tulis International Herald Tribun pekan lalu, peran ideologi memang sedang rontok. Dulu ideologi komunisme itu merupakan semacam panduan. Kini tampaknya ideologi yang sudah tua dan sempit dadanya itu yang harus terengah-engah mengejar perkembangan perubahan, untuk menyusulinya dengan sejumlah pidato pembenaran.

Memang waktu telah berlalu. Ketika memperingati 140 tahun Manifesto Komunis tahun ini, sebuah artikel di harian Guanming dengan terang menyatakan, “Marx dan Engels salah ketika mereka meramalkan bahwa kapitalisme akan surut dan sosialisme akan datang . . . .” Di Beijing ada contoh kesalahan Marx itu. Orang pernah dikutuk Mao sebagai “pengambil jalan kapitalis”, Deng Xiao Ping, kini memerintah dengan kukuh. Ia pernah mengatakan bahwa kucing boleh hitam boleh putih asala pandai menangkap tikus. Singkatnya: ideologi itu cuma soal kebutuhan.

Akhirnya komunisme memang bukan sejenis Roh Suci. Ia bisa salah dan ia bukannya sesuatu yang bisa terus-menerus membisikkan petunjuk kepada mereka yang beriman kepadanya. Ia bukan sesuatu yang kekal dan kuat sebagai inspirasi, terutama bila pusat-pusat inspirasi itu terbentur kesulitan besar: di Vietnam kini terjadi kelaparan. Di Polandia terjadi perlawanan buruh – justru di bawah kekuasaan yang mengatasnamakan kelas buruh.

Meka, seorang kenalan bertanya kepada saya: haruskah saya selalu bersikap gentar dan defensif terhadap satu kekuatan yang kini berpusar-pusar dengan segala isi kepala yang kemelut seperti itu? Haruskah saya membuat promosi gratis bagi PKI, dengan membayangkan bahwa sejumlah orang yang telah salah dan kalah di tahun 1965 di Indonesia itu kini tetap tangguh dan sakti bagaikan satria hantu yang bisa segala ilmu? Haruskah kewaspadaan akhirnya hanya ketakutan, dan akhirnya hanya kepanikan, dan akhirnya hanya kebingungan, dan akhirnya hanya pukul kanan pukul kiri?

Kenalan saya itu berkata, komunisme itu ide. Ia memang tak mati digertak dengan palu dan sepatu. Ia harus dilawan dengan ide dan sikap yang lebih baik. Kini saatnya: ide itu sedang rontok sebagai ide.

Jangan takut.

Dunia dan kenyataan memang berubah dengan cepat, terlampau cepat kadang-kadang bagi orang yang tersumbat jiwanya di masa lampau.

11 Juni 1988

Sabtu, 16 Juli 2011

Sembilan Momen Paling Kontroversial di Piala Dunia

1. Aksi Konyol Stefan Effenberg 1994

Jerman sebagai juara bertahan harus pulang lebih awal. Mereka dikalahkan oleh Bulgaria yang saat itu diperkuat Hristo Stoichkov dan pelatih bertangan dingin Dmitar Penev, diperempat final dengan skor 2-1. Kekalahan yang menyakitkan itu kemudian disusul dengan pemecatan sang pelatih yang pada saat itu dipegang oleh Berti Vogts.

Namun, momen yang paling menyakitkan bagi Effenberg adalah ketika Effenberg di usir dari ti oleh Vogts. Sebabnya, adalah ketika Effenberg memainkan tangannya di dekat kemaluannya di depan penonton ketika ia diganti pada pertandingan melawan Korea Selatan. Entah sebagai ekspresi kekecewaan atau untuk mengejek penonton, yang jelas Vogts tidak suka. Akhirnya, Vogts memulangkan pemain muda Jerman saat itu. Sejak saat itu Effe tidak pernah memperkuat Jerman lagi.

2. Isu Suap Pertandingan Argentina vs Peru 1978

Kemenangan Diego Maradona cs di Piala Dunia U-17 1977, menimbulkan ekspektasi besar kepada Timnas Argentina yang saat itu dilatih oleh Cesar Luis Menotti. Bahkan tekanan pun sempat dirasakan Menotti, ketika publik Argentina berharap ‘sang bocah ajaib’ Diego Maradona dimasukan ke dalam tim. Namun, sang pelatih tetap bergeming dan tidak mengikutkan Diego Maradona yang ia katakan masih terlalu muda. Terbukti di Piala Dunia tahun 1982 pun Maradona masih ‘hijau’ – ia terkena kartu merah di pertandingan penting penuh tekanan karena tak mampu menahan emosi.

Entah karena ekspektasi yang terlalu besar atau karena kesiapan tim yang lemah, Argentina di fase grup terseok-seok. Di pertandingan terakhir menghadapi Peru, mereka harus mengalah Peru minimal selisih 4 goal. Hasilnya Mario Kempes dkk mengalahkan Peru 6 – 0. Isu pun kemudian berhembus bahwa pemerintah Argentina telah mengirimkan ribuan ton gandum ke Peru demi kelancaran tim Argentina di Piala Dunia. Meskipun dugaan itu sempat muncul, namun sampai sekarang belum ada penyelidikan resmi yang dilakukan.

3. Tragedi Schumacher (Jerbar) vs Batiston (Perancis) tahun 1982

Pertandingan Jerman (Barat) versus Perancis yang diperkuat Platini dan Tigana di Piala Dunia 1982 berlangsung menarik. George Batiston, pemain Perancis tiba-tiba lolos dari penjagaan bek-bek Jerman (Barat) dan mendekati daerah penalti kiper Jerman Michael Schumacher. Schumacher pun kemudian menyongsong Batiston dengan tinju dan dengkulnya. Akibatnya beberapa gigi Batiston rontok dan tulang rusuknya patah . Bahkan Platini mengira Batiston meninggal, “ia kelihatan pucat dan tidak ada denyut nadi” kata Platini di media. Dan yang lebih aneh lagi Schumacher sama sekali tidak diberi kartu atau bahkan pelanggaran.

4. Franck Rijkard Meludahi Rudi Voeller 1990

Babak 16 besar Piala Dunia 1990 di Italia mempertemukan juara Eropa 1988 Belanda melawan Jerman (Barat). Pada menit 21 terjadi insiden ketika Rijkard menekel Voeller, meski video memperlihatkan Rijkard jelas-jelas meludahi rambut Voller namun wasit Juan Loustau tidak melihatnya dan hanya menghukum Rijkard dengan kartu kuning. Voeller yang mengadu kepada Loustau justru diganjar kartu kuning.

Beberapa saat kemudian Voeller ditekel dekat kotak penalty Belanda. Kedua pemain kemudian dihadiahi kartu merah, setelah Kiper Belanda Van Breukelen menganggap Voeller diving dan Rijkard ikut bertengkar.

5. Doping Maradona 1994

Memudarnya kejayaan Diego Maradona sudah tercium sejak awal tahun 1990. Kasus penggunaan kokain yang menimpanya membuat banyak orang mengira Maradona ‘kena batunya’ dan tak akan berbuat aneh-aneh lagi. Namun, penggemar Maradona dan publik Argentina di Piala Dunia Amerika Serikat 1994 harus gigit jari. Ternyata ‘sang pujaan’ terkena doping. Alhasil, Argentina dibekuk Bulgaria dan Rumania secara berturut-turut.

6. Akting Diego Simeone 1998

Pertandingan perempat final 1998 ini berlangsung mendebarkan. Inggris yang saat itu diperkuat Michael Owen muda sempat di atas angin. Namun, kebodohan David Beckham menendang Diego Simeone membuat Inggris harus bermain dengan 10 orang dan terpaksa memainkan adu penalti yang menjadi momok bagi pasukan St. George Cross itu.

7. Kartu Merah Zidane Final tahun 2006

Inilah kartu merah pertama dalam sejarah penyelenggaraan Piala Dunia. Lebih kontroversi lagi karena yang melakukan adalah bintang sekaliber Zinedine Zidane yang pernah menjadi pemain terbaik dunia. Tak heran suara pro dan kontra pun seimbang antara menyalahkan Zidane dan Materazzi. Spekulasi pun sempat beredar mengenai apa yang dikatakan Materazzi kepada Zidane sehingga kapten Perancis itu menanduk Materazzi.

8. Kartu Merah Francesco Totti, Korsel 2002

Babak 16 besar Piala Dunia 2002 menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi Italia dan tuan rumah Korea Selatan. Bagi Korea Selatan pertandingan ini adalah sejarah tak terlupakan, untuk pertama kalinya mereka menembus 8 besar dan mengalahkan juara dunia 3 kali pula. Namun, bagi Italia ini adalah pertandingan yang menyesakkan. Apalagi kekalahan mereka dibumbui keputusan kontroversial wasit Luis Medina yang alih-alih memberikan penalti ketika Totti dijatuhkan justru memberi Totti kartu merah karena dianggap diving. Andai kemudian Italia tidak kalah mungkin kartu merah itu tidak menjadi kambing hitam. Tetapi, gol Ahn Jung Hwan akhirnya mengirim Maldini cs pulang dan sejak saat itu pemain Korea tidak ada lagi yang bermain di serie A. Bisa jadi karena sentimen Piala Dunia 2002 atau bisa juga karena belum ada pemain Korea Selatan yang dianggap layak bermain di Serie A. Hanya publik Italia yang bisa menjawabnya.

9. Gol “Tangan Tuhan” Maradona 1986

Pertandingan Argentina vs Inggris di Piala Dunia 1986 adalah yang paling diingat oleh para penggemar sepak bola di seluruh dunia. Selain karena latar belakang kedua negara yang pernah berkonflik karena perebutan Pulau Malvinas, tetapi juga karena dua gol Maradona. Gol pertama adalah ketika Maradona melakukan solo run dari lapangan tengah ke gawang Inggris - yang saat itu dijaga Peter Shilton, melewati 6 pemain termasuk sang kiper. Inilah salah satu gol terbaik selama penyelenggaraan Piala Dunia. Gol kedua adalah ketika Maradona jelas-jelas memasukkan bola ke gawang Shilton dengan tangan. Maradona kemudian menyebut bukan dia yang mencetak gol, “itu adalah gol tangan Tuhan” kata “Si Boncel” kepada media.

Senin, 11 Juli 2011

Bicaralah Kawan !

Kata orang laki-laki dari planet Mars dan wanita dari Venus. Ini untuk menunjukkan betapa berbedanya laki-laki dan perempuan dalam berpikir, bertindak dan memutuskan. Semua perbedaan itu terjadi oleh karena perbedaan kromosom yang bersatu. Bila seorang calon bayi berkromosom X dan Y maka ia akan lahir sebagai perempuan. Namun, bila kromosom X ditemani oleh X juga maka ia akan lahir sebagai laki-laki. Perbedaan di tingkat mikro inilah yang akan mempengaruhi hidup mereka sekian puluh tahun ke depan.

Perbedaan pertama yang masih muncul di tingkat mikro adalah dominasi hormon tertentu dalam tubuh mereka. Wanita akan lebih banyak progesteron sementara laki-laki lebih banyak testosteron. Progesteron secara gampang sebagai pendorong sifat-sifat feminim. Sementara hormon testosteron mendurung seseorang bersikap maskulin.

Seperti apakah sifat-sifat feminim dan maskulin dipandang dari sudut pandang biologis ?
bersambung

Selasa, 07 Juni 2011

Ribuan Kaum Muslim Kalsel Serukan Tegaknya Khilafah

HTI Press. Lebih dari 8.000 kaum Muslim menghadiri Konferensi Rajab 1432 H di Stadion 17 Mei Banjarmasin, Kamis (2/6). Mereka berasal dari berbagai elemen umat di wilayah Kalimantan Selatan seperti Tanjung, Amuntai, Barabai, Kandangan, Rantau, Martapura, Pelaihari, Batulicin, Marabahan, Banjarbaru, dan Banjarmasin.

Ribuan kaum Muslim mengikuti acara demi acara tanpa beranjak dari tempat duduknya. Mereka mengikuti dengan seksama seruan tegaknya Khilafah. Orasi pembicara dan testimoni ulama yang disertai tabuhan bedug bertalu-talu dan berirama semangat kemenangan Islam menambah semangat tersendiri kepada hadirin. Pekik takbir dan seruan: “Khilafah! Khilafah! Khilafah!” berulang kali diteriakkan oleh para peserta disertai kibaran Liwa dan Royah.

Ketua DPD I HTI Kalsel ustadz Baihaki al-Munawar dalam pidato sambutannya menyampaikan sebelum diruntuhkannya khilafah oleh imperialis Inggris pada 28 Rajab 1342 atau 3 Maret 1924, umat Islam pernah berjaya dan memimpin peradaban dunia. Mengutip Will Durant dari bukunya The Story of Civilization, Ketua DPD I HTI mengingatkan bahwa pada masa Khilafah dulu, para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan manusia. Sistem khilafah mampu menjamin masyarakatnya hidup sejahtera. Sementara kehidupan umat Islam saat ini melarat dan tercabik-cabik dalam 57 negara.

Ia berharap, Konferensi yang mengangkat tema “Hidup Sejahtera dalam Naungan Khilafah” menjadi pendorong umat untuk merekonstruksi masa depan peradaban Islam dalam sistem khilafah. Konferensi ini diadakan untuk mengajak umat bersatu dalam visi, tekad, dan langkah untuk tegaknya Khilafah Islamiyah.

Sementara itu, Harits Abu Ulya, Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI yang datang dari Jakarta dalam orasinya menyampaikan Hizbut Tahrir didirikan untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Hizbut Tahrir memandang ketiadaan institusi politik Islam ini merupakan problem terbesar bagi umat Islam. Sudah 90 tahun (kalender hijriyah - red) umat Islam hidup tanpa naungan Khilafah. Padahal adanya Khilafah adalah sebuah kewajiban.

Ia menekankan, kaum Muslim di mana pun berada harus mengambil peran untuk tegaknya khilafah. Menegakkan khilafah merupakan amal terbesar bagi setiap Muslim saat ini. “Jika tidak sekarang kapan lagi memberikan dukungan?” tandasnya.

Sementara itu dalam testimoninya, KH. Abdul Wahab Syahrani, S.Ag, MM yang juga pengasuh Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud Putra Jarau Kab. Hulu Sungai Selatan, berkata: “Apa yang harus kita lakukan sekarang adalah memperjuangkannya dengan mengikuti perjuangan Rasulullah SAW. Kita tidak boleh takut kepada Amerika, kita hanya takut kepada Allah SWT dalam perjuangan ini”.

Konferensi Rajab hari ini juga diramaikan aksi teatrikal oleh para pemuda Islam yang berupaya menggambarkan keadaan umat Islam tanpa Khilafah. Sebuah pesan penting yang disampaikan dalam aksi teatrikal ini adalah betapa pentingnya penegakan khilafah dalam menyatukan seluruh potensi umat untuk meraih kemuliaan Islam dan kesejahteraan, serta melenyapkan penjajahan.

Konferensi Rajab 1432 H yang diselenggarakan DPD I HTI Kalimantan Selatan ini merupakan acara pembuka dari rangkaian konferensi akbar yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia selama bulan Juni. Konferensi yang mengambil momentum peristiwa yang terjadi di bulan Rajab diselenggarakan di seluruh kota besar Indonesia dari ujung Timur Jayapura hingga ujung Barat Banda Aceh, dan puncaknya pada 29 Juni di Stadion Lebak Bulus Jakarta. []

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons