Sabtu, 21 Mei 2011

Moderat

Oleh: Fahmy Zarkasyi

Tahun 2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar symposium di Tokyo. Temanya “Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam”, yakni tentang masa depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari negara-negara Islam seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang dari Amerika dan beberapa dari Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini bertujuan untuk mengukur masa depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11 September, akan ditangan radikal atau moderat.

Maka dari itu diantara isu yang dilontarkan disitu adalah tentang arti Muslim moderat. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Mulanya para peserta merespon dengan datar-datar saja. “Moderate” artinya tidak berlebihan ghuluww (ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Professor Bedoui Abdelmajid, dari Tunis moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan, peribadatan, hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan nyata.

Tapi masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation Amerika Syerikat mendefinisikan. Muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society. Dr.Sohail Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan kepentingan Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar London, menolak definisi itu dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut kriteria Islam adalah moderat meskipun tidak setuju dengan pluralisme, feminisme, humanisme dsb.

Saya pun ikut merespon. “Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan “Islam Liberal”, mestinya anda tahu itu. Dan “Islam Liberal” di Indonesia itu tidak moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan “Islam liberal” adalah moderat maka konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal, termasuk NU dan Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak moderat.

Masataka Takeshita, Professor Studi Islam dari Universitas Tokyo segera bertanya, apa yang anda maksud “Islam liberal”? saya katakan “Islam Liberal” itu terlalu kontekstual, artinya cenderung menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi konsep-konsep dalam konteks masyarakat Barat. Contohnya, di kalangan liberal ada yang menafikan hukum Tuhan (syariah), mempersoalkan otentisitas al-Qur’an, menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat menghalalkan homoseks dan lesbi, nikah beda agama dsb. Rabasa tetap pada pendiriannya, tapi diluar forum terus terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada orang liberal Indonesia yang setuju dengan homoseks dan lesbi. I will check it, katanya.

Rabasa tak bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual “Islam moderat”. Setelah American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas. sedikitnya ada tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan Islam.

Definisi Islam moderat yang anti Islam dalam dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro Israel atau netral, tidak berreaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terrorisme. Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 malah tegas-tegas menyatakan siapapun yang membela syariah tidak dapat dikatakan moderat. (no one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.

Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E Fuller dan Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalism dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain. Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.

Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi yang justru menemukan kesalahannya adalah John L Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: pertama jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Sholat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat.

Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina. Itu kesalahan yang kedua.

Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariah (bukunya The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.

Bagi Muqtedar Khan, cendekiwan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berfikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS 5:48; 3:110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan, menambahi Muslim yang menolak ketidak adilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan. Jadi, untuk mengalahkan radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus. Wallahu a’lam

Sumber: insistnet.com (18/5/2011)

Minggu, 15 Mei 2011

Link Sahabat

Ingin bertukar link? Silakan isi comment dahulu di bawah

Blogger
  1. Adi Rahman : Pojok Sastra
  2. Mas Ipul
Lain-lain
  1. Tempat Download Paling Lengkap
  2. Jalur Otak Kanan
  3. Tips Blogging
  4. Tips Ngeblog/ Photoshop
  5. Ndie | Various and Unique Information
  6. My Personal Blog


==================================================

HALAMAN INI DIDEDIKASIKAN BAGI SAHABAT-SAHABAT
YANG INGIN BERTUKAR LINK
SILAKAN ISI COMMENT DI BAWAH
SETELAH SAYA CEK
AKAN SAYA PASANG LINK SAHABAT DI HALAMAN INI

==================================================


Rabu, 11 Mei 2011






Great! The file uploaded properly. Now click the 'Verify my file' button to
complete the process.



Sabtu, 30 April 2011

The perfect heart

sent by Priya Sher

A young man was standing in the middle of the town proclaiming that he had the most beautiful heart in the whole valley. A large crowd gathered and they all admired his heart for it was perfect. There was not a mark or a flaw in it.

But an old man appeared at the front of the crowd and said,
“Your heart is not nearly as beautiful as mine.”

The crowd and the young man looked at the old man’s heart. It was beating strongly but full of scars. It had places where pieces had been removed and other pieces put in … but they didn’t fit quite right and there were several jagged edges. The young man looked at the old man’s heart and laughed.
“You must be joking,” he said. “Compare your heart with mine … mine is perfect and yours is a mess of scars and tears.”

” “Yes,” said the old man, “Yours is perfect looking … but I would never trade with you. You see, every scar represents a person to whom I have given my love….. I tear out a piece of my heart and give it to them … and often they give me a piece of their heart which fits into the empty place in my heart but because the pieces aren’t exact, I have some rough edges.
“ Sometimes I have given pieces of my heart away … and the other person hasn’t returned a piece of his heart to me. These are the empty gouges … giving love is taking a chance. Although these gouges are painful, they stay open, reminding me of the love I have for these people too … and I hope someday they may return and fill the space I have waiting. So now do you see what true beauty is?”

The young man stood silently with tears running down his cheeks. He walked up to the old man, reached into his perfect young and beautiful heart, and ripped a piece out. He offered it to the old man.
The old man took his offering, placed it in his heart and then took a piece from his old scarred heart and placed it in the wound in the young man’s heart.
It fit …. but not perfectly, as there were some jagged edges.
The young man looked at his heart, not perfect anymore but more beautiful than ever, since lovefrom the old man’s heart flowed into his.


as published inPaulo Coelho's Blog

Senin, 14 Maret 2011

Ironi Sepatu

Apakah sepatu lebih baik daripada sandal? Sehingga menghadap presiden harus memakai sepatu. Allah saja menyuruh untuk melepas sepatu ketika kita berkunjung ke rumahnya. Apakah Tuhan tidak lebih pantas untuk dihormati daripada seorang presiden.

Katanya, sepatu itu baik karena melindungi kaki dari duri, benda tajam dll. Tetapi, kalau anda mau pakai sepatu harus memakai kaos kaki terlebih dahulu. Tahu kenapa? Karena kaki anda bisa lecet kalau tidak pakai sepatu. Lho, jadi sebenarnya sepatu itu melindungi kaki atau membahayakan kaki?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons