Sabtu, 15 Januari 2011

Netralitas Birokrasi

Oleh : Ida Syafrida Harahap

Administrasi negara tidak banyak mendapat perhatian di negara ini. Namun, reformasi birokrasi menjadi salah satu tawaran dalam pembenahan sistem penyelenggaraan negara. Meskipun tidak sama, keduanya memiliki keterkaitan. Administrasi negara tidak akan baik tanpa adanya sistem birokrasi yang efektif dan efisien. Sebaliknya, birokrasi yang cenderung gemuk dan korup akan membentuk sistem administrasi negara yang tidak dapat melayani masyarakat. Untuk mudahnya, administrasi negara adalah salah satu organ birokrasi.


Di beberapa negara, Jerman misalnya, administrasi negara menjadi lembaga negara profesional, terpisah dari fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Administrasi negara di sini memegang fungsi administratif dalam penyelenggaraan negara. Secara legal, administrasi negara bertindak atas nama konstitusi. Untuk operasionalisasi, administrasi negara memiliki Undang-Undang Prosedur Administrasi Negara (Verwaltungsverfahrensgesetz). Dasar hukum yang kuat mampu membentuk sistem administrasi (negara) Jerman yang profesional dan pro kepada rakyat.


Berbeda halnya dengan Amerika. Administrasi negara merupakan bagian dalam sistem pemerintahan eksekutif. Meskipun tidak tercantum tegas dalam konstitusi, hal ini dengan tegas diatur dalam Administrative Procedure Act. Eksekutif selaku implementator undang-undang membutuhkan fungsi administratif dalam mengurus dan mengelola negara. Kodifikasi hukum dalam negara ini memberi kekuatan. Sistem hukum Amerika mengatur sistem pemerintahan secara komprehensif, baik dalam fungsi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan demikian, netralitas dalam menjalankan administrasi negara tetap terjaga.


Adapun administrasi negara di Belanda hampir mendekati sistem di Jerman. Namun, dalam beberapa hal, kondisi faktual yang tergambar dalam The General Administrative Act (Alegemene wet Bestuursrecht) mereka cenderung mirip dalam konteks negara Indonesia. Sebab, dalam beberapa aturan hukum, Indonesia memang masih banyak berpedoman pada Negeri Kincir Angin tersebut.


Terlepas dari berbagai bentuk prosedur administrasi negara, Indonesia masih belum memilih bentuk administrasi negara. Selama ini administrasi negara selalu identik dengan keputusan tata usaha negara. Belum ada aturan hukum yang tegas mendeskripsikan administrasi negara. Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki standar dalam menyelenggarakan administrasi negara.


Jika kita akan menerapkan sistem seperti Jerman, Amerika, ataupun Belanda, harus ada dasar hukum yang kuat. Terlebih sistem kelembagaan Indonesia dirancukan oleh sistem kepartaian dan sistem kepegawaian. Namun, meskipun dilakukan amendemen, tidak ada jaminan akan terwujud administrasi negara yang ideal. Sementara itu, untuk membentuk sistem di tengah jalan, akan membentur banyak aturan hukum yang belum tertata. Artinya, bukan masalah pendekatan apa yang digunakan dalam membentuk administrasi negara, melainkan sejauh mana Indonesia dapat menjaga netralitas penyelenggara negara dari berbagai kepentingan. Jika selama ini netralitas hanya menyentuh ruang-ruang politis, sudah saatnya netralitas memisahkan antara ruang pemerintah dan ruang negara.


Netralitas birokrasi


Undang-undang yang mengatur soal birokrasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian). Dalam hukum Indonesia memang tidak dikenal istilah birokrasi. Namun, dalam UU Kepegawaian, birokrasi identik dengan pegawai negeri sipil.


Pemisahan yang tidak tegas antara fungsi negara dan fungsi pemerintah sebenarnya dimulai dari konstitusi. Kita lihat saja istilah "kekuasaan pemerintahan negara" yang dipegang oleh eksekutif, dalam hal ini presiden. Padahal secara umum pemerintahan diselenggarakan oleh semua lembaga negara, yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara, termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lain.


Terlepas dari kelemahan konstitusi, kedudukan birokrasi semakin diperlemah oleh UU Kepegawaian. Secara sengaja pegawai negeri sipil ditempatkan sebagai alat pemerintah (eksekutif), bukan alat negara. Dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, pegawai negeri sipil tunduk pada aturan pemerintah. Bagaimana mungkin pegawai negeri sipil dapat menjalankan roda birokrasi secara netral jika kebijakan dan aturan yang digunakan tunduk serta patuh kepada pemerintah. Kesalahan berikutnya adalah negara sering kali diidentikkan dengan pemerintah. Peran masyarakat tidak menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan negara. Masyarakat cenderung menjadi obyek penyelenggaraan negara.


Secara ideal, penyelenggaraan negara pasti melibatkan masyarakat. Dengan demikian, pada tingkat implementasi diperlukan instrumen khusus dengan standardisasi prosedur. Singkatnya, hubungan eksternal pemerintah dengan masyarakat membutuhkan birokrasi. Korelasi tersebut membutuhkan prosedur administrasi negara yang telah disepakati oleh semua elemen negara.


Jika konsep netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan negara dapat diterapkan, otomatis akan terbentuk sistem administrasi (negara) Indonesia yang netral. Dalam konteks Indonesia yang belum memiliki fondasi yang kuat untuk membentuk sistem administrasi negara, ada beberapa proses yang dapat dijalankan. Pertama, mempertegas pemisahan antara negara dan pemerintah. Selain menempatkan ketentuan ini dalam amendemen konstitusi berikutnya, konsep ini harus mulai dimasyarakatkan dan diterapkan dalam setiap bentuk penyelenggaraan negara. Pemerintah bukan negara dan negara pun tidak semata dikelola oleh pemerintah.


Kedua, mempertegas fungsi dan tanggung jawab negara terhadap rakyat. Salah satu unsur utama pembentukan sebuah negara adalah kedaulatan. Sistem negara modern yang menempatkan perwakilan rakyat dalam penyelenggaraan negara tidak serta-merta menghapus fungsi dan tanggung jawab negara atas rakyat. Penyelenggaraan negara harus berorientasi menjalankan pelayanan terhadap publik dalam mewujudkan tujuan negara. Tidak lagi negara berjalan tanpa kehendak rakyat. Tidak ada lagi rakyat tanpa perlindungan dan jaminan dari negara.


Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi lembaga negara. Penguatan kedudukan, fungsi, dan tanggung jawab negara harus diimbangi dengan penguatan fungsi lembaga negara. Lembaga negara di sini adalah setiap organisasi yang berfungsi dan berwenang dalam penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya lembaga negara yang memiliki fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selama ini Indonesia lebih sering menggunakan pendekatan kekuasaan daripada pendekatan fungsi. Maka pembentukan organisasi dilakukan berdasarkan adanya kekuasaan semata, tidak berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan fungsi tertentu dalam negara. Akibatnya, kekuasaan eksekutif, selain memiliki fungsi eksekutif, memiliki fungsi legislatif dan yudikatif.


Proses di atas mau tidak mau harus dilewati. Jika tidak, Indonesia akan semakin terjajah oleh salah satu pemegang kekuasaan negara. Sementara itu, rakyat selaku pemegang kedaulatan hanya menjadi obyek dalam kegamangan fungsi negara dengan pemerintah.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2007/08/01/Opini/krn,20070801,72.id.html

Rata Penuh

Minggu, 09 Januari 2011

The Religious Background of the Java War 1825 1830

The Religious Background of the Java War 1825 1830

Nov, 2010

On October 4th 2010, the Graduate School of Universitas Gadjah Mada held the first general lecture for new students of 2010/2011 as it was opened by the Director of The Graduate School, Prof. Dr. Hartono. Prof. Dr. Peter Carey from Oxford University gave the lecture of "The Religious Background of the Java War 1825-1830", a product of his dissertation research about Pangeran Diponegoro.

Peter Carey explained that his focus of research was on the figure and personal life of Diponegoro, not his figure as the commander of war. The Diponegoro's personality was obviously portrayed through photographs and paintings by Raden Saleh. Although he belonged to the palace noble family, he dressed like an ordinary person, with robe, serban and button made from wood like santri or religious student. Diponegoro was easy to interact with others, generous, and never haughty to common people.

Diponegoro was a descendant of Mataram palace noble family whose mother was from Tembayat. Diponegoro personified as a Prince of Warrior that gained a lot of education from outside the palace or in pesantren, Islamic religious school. He was mostly influenced by his teacher's ways of thinking, Kyai Mojo. His faith was much influenced by local belief and the guidance of his ancestors. He used "feeling" or presentiment's awareness to analyze human's character of people that he met.

Diponegoro liked to travel as he travelled from Imogiri to Nusambangan, he even made a travel from Imogiri to Makassar. In Makassar, he actively held praying forum and until today there is a mystic path in Makassar which is still influenced by the figure of Diponegoro.

The struggle that Diponegoro had craved for was like the Wali's accomplishments within governmental system as Wali was considered as friend of God. He wanted to build Islamic state where he would perform as a Wali. Among the tasks were to clean the litter in Java until the Dutch and the infidels left Java, to promote Islam and to protect the Javanese culture. He made the Javanese language compulsory and forbid the Melayu language. Such struggle eventually led to conflicts among Satriya and Santri communities that they were uneasy to work together.


In his retired life, Diponegoro suffered from malaria. Then, the British's coming to Java, triggered an ideology war between the Dutch (republic) and England (Monarchy). British defeated Dutch as 80 % of Dutch army died and 80% of Indonesian died. British took over almost all of Javanese manuscripts except Tempuran manuscripts.


The lecture was very interesting and provoking the enthusiasm of the audience. In discussion session, one of the students said that the spirit of Diponegoro was still inspiring as it was utilized in 19th century for a congress of Islamic syariah and PNI marked by the installation of Diponegoro's documentations.


The story of Diponegoro can be read by people soon that it has been translated into Indonesian within 1000 pages. He was asked when people could get the book, he replied, "It will be published in the next two years!", while taking pictures with the audience.

taken from : http://crcs.ugm.ac.id/

Senin, 03 Januari 2011

Catatan Akhir Tahun 2010

Akhir tahun 2010 diakhiri dengan evoria sepakbola. Setelah sekian lama tv-tv memajang kisah, intrik dan 'prestasi' politisi giliran para pemain sepakbola yang menjadi head lines. Bukan nama SBY, Budiono, Sri Mulyani, Aburizal Bakrie, Anas Urbaningrum atau Hatta Rajasa yang muncul, namun nama Irfan Bachdim, Cristian Gonzales, Firman Utina dan Alfred Riedl. Setahun lalu nama-nama itu hanya akrab di komunitas tertentu.

Yang menarik, para politisi ikut ber-evoria sepakbola pula. Sekian orang politisi muncul di GBK, beberapa lagi dengan "pede" mengeluarkan statemen di media mengenai sepakbola dan tak segan mengadakan nobar di halaman rumahnya. Namun, ada politisi yang lebih kreatif dengan mengundang Timnas makan dan dengan bangga mengumumkan pada khalayak menghibahkan tanahnya yang luas untuk PSSI. Saat Timnas bertanding di KL pun ada bendera Parpol yang dengan gagah berkibar di antara sekian kaos timnas dan bendera merah putih.

Kita tinggalkan sejenak sepakbola dan para politisi yang semakin cerdas dan kreatif. Kita lihat hukum selama setahun ini. Pertama, ada kasus penegak hukum yang bermasalah dengan hukum. Kita lupakan rakyat jelata yang tak tahu apa-apa. Mereka banyak bermasalah dengan hukum. Namun, menurut saya tak terlalu penting bila dibanding dengan penegak hukum yang bermasalah hukum. Jadi, "wajar saja" kalau rakyat biasa bermasalah hukum. Untuk sekadar mendaftar mereka yang bermasalah a.l :
  1. Antasari Azhar (Ketua KPK)
  2. Susno Duadji (Kabareskrim POLRI)
  3. Bibit dan Candra ( KPK)
Masalah yang mereka hadapi sudah dibahas panjang lebar oleh media. Namun, yang belum dibahas adalah latar-belakang fenomena ini.

Kemudian masalah ekonomi. Tahun 2010 diakhiri dengan Rencana Penyesuaian Subsidi BBM. Pemerintah tak rela dengan subsiidi BBM yang ternyata di nikmati orang-orang kaya saja. Luar biasa...! Tiba-tiba pemerintah begitu perduli dengan rupiah-rupiah yang ia keluarkan. Tiba-tiba menjadi pembela rakyat kecil dan seolah-olah benci orang kaya. Pemerintah lebih dari sekadar menjauhi pilih kasih tetapi mengedepankan kepentingan orang miskin yang harus tetap disubsidi.

Lupakanlah benar-tidaknya subsidi telah salah sasaran. Tak perlu berburuk sangka karena toh kita tak akan pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi. Kecuali, aad akses publik ke dalam Pertamina dan Kem. Energi dan gas. Kita syukuri saja kecerdasan mencari kata yang lebih halus dan cerdas untuk kenaikan BBM.

Itu saja ulasan tahun 2010. Tak perlu di bahas masalah TKI, semrawutnya haji, ibu kota yang makin banyak macet dan bus way-nya. Karena anda bukan pemerintah dan pemegang kebijakan. Anda hanya rakyat jelata yang bosan dan iseng-iseng buka internet. Siapa tahu ada yan menarik. Iya kan ? Ngaku sajalah....!

Sabtu, 04 Desember 2010

Anak-anak Muda Terkaya di Indonesia

Menurut majalah Forbes Indonesia, tahun 2010 ini ada 3 anak muda paling kaya di Indonesia. Siapa mereka ? Tentu saja bukan saya.

Mereka adalah :

  1. Ciliandra Fangiono. Umurnya baru 34 tahun, dengan kekayaan sebesar USD 1,1 miliar. Dia mengepalai First Resources yang mengelola 100 ribu hektar lahan minyak kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan. First Resources didirikan Martias, ayah Ciliandra, yang sejak 2003 tak banyak melibatkan diri di perusahaan itu.
  2. Agus Lasmono Sudwikatmono, berumur 39 tahun, memiliki kekayaan sebesar USD 845 juta. Dia adalah wakil presiden komisaris di Indika Energy, penambang batu bara. Dari namanya sudah bisa ditebak kalau Agus adalah putra dari Sudwikatmono (eksekutif papan atas dari grup Salim) --sepupu mantan presiden Soeharto.
  3. Sandiaga Uno. Pengusaha berumur 41 tahun ini sempat mencalonkan diri menjadi Ketua Kadin. Ia tercatat berkekayaan USD 795 juta, hampir dua kali lipat tahun sebelumnya yang USD 400 juta. Ia ikut mendirikan Saratoga Capital bersama Edwin Soeryadjaya (di posisi 13 terkaya) pada 1998. Ia juga turut mengangkat Adaro Energy ke salah satu perusahaan penambang batu bara kedua terbesar di Indonesia.
Sayangnya, daftar orang-orang terkaya di Indonesia sekadar daftar saja. Membuat kita bangga ? Bisa jadi. Membuat kita sedih ? Bisa juga. Apalagi kalau melihat jumlah penduduk miskin di Indonesia yang menurut BPS (2010) adalah 31 juta. Tentu itu bukan angka yang sedikit. Apalagi kalau hanya dibandingkan dengan 3 orang muda terkaya se-Indonesia. Angka 30 juta adalah jumlah kepala keluarga. Kalau diasumsikan setiap KK tersebut memiliki 1 orang anak berarti sudah jelas kita punya 60 juta orang tergolong miskin. Menurut PBB (2008), penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari $ 2 per hari.
Nah lho...?

Jumat, 19 November 2010

Coffee Lover

Tak ada cerita istimewa di balik kisah ‘cofee lover’-ku. Aku bukan kreator campuran kopi yang istimewa. Aku juga bukan penulis artikel makanan dan minuman terkenal di tabloid atau majalah kuliner di ibu kota. Aku bukan orang seperti itu. Aku bahkan lebih suka politik. Aku orang biasa.

Cerita di balik ‘cofee lover’ku adalah ketegangan otak dan kebosanan atas hiburan-hiburan yang ada di televisi. Bagiku kopi itu adalah keindahan, sementara ‘stress reducer’ berupa pacaran, nge-game, tidur berlebihan dst adalah ‘stress reducer’ yang sama sekali tidak indah. Apalagi kalau dibandingkan dengan drugs, sex, alcohol, gambling, beting dll.

Cerita di balik ‘cofee lover’ ku adalah tentang buruh kopi, petani kopi, modal petani kopi, pengepul kopi, buruh pabrik kopi, karyawan pabrik kopi dan daya saing kopi Indonesia di dunia internasional. Setiap yang ada di depanku tidak boleh hanya kulit. Aku harus paham juga kulit ari, otot-otonya, urat-urat yang mengalirkan darah, tulang-tulang rawan yang menjaga persendian sampai ke tulang-tulang dan zat-zat di dalam sum-sum tulangnya. Intinya setiap hal kupahami bukan sekedar lahiriah-nya saja tetapi yang tidak terlihat (padahal keberadaaannya pasti) pun aku kenali juga. Ini bisa dan tidak mustahil diterapkan di setiap segi kehidupan. Bukan hanya soal kopi. Permasalahan orang tua marah, suporter bentrok, remaja-remaja banyak yang hamil di luar nikah, Gayus liburan ke Bali sampai ke hal-hal kecil seperti mahalnya tempe, tahu dan gorengan.

Bagi saya ini bukan kecerdasan emosional semata. Bagi saya ini bukan gaya khas politisi dan dosen-dosen ilmu sosial. Bagi saya ini bukan hanya sekadar pengamatan sosial dan cara pandang komprehensif. Ini cara pandang agama !

Anda pasti kaget ? Minimal anda bingung.

Di dalam Al Qur’an ayat 3-4 surat 2, orang-orang yang yakin (beriman) memiliki beberapa indikator. Salah satu indikator adalah yakin pada yang ghaib. Dalam terminologi agama, ghaib yang utama diduduki oleh iman pada Tuhan, hari akhir dll. Semua ‘pihak’ itu ghaib bukan karena mereka tidak bisa dijangkau indra manusia tetapi karena belum diizinkan oleh Tuhan untuk terjangkau oleh indra manusia. Posisi mereka hampir mirip kata ‘orang ketiga’ dalam khasanah bahasa Indonesia. Sebagai intermezo, bahasa Arab untuk orang ketiga dalam ilmu nahwu adalah ‘ghaib’.

Artinya, kalau aku ingin jadi manusia yang baik di hadapan Tuhan, dalam hal keyakinan (agama) aku harus yakin esksistensi (iman) ‘pihak-pihak’ yang ghaib itu.

Artinya, kalau aku ingin jadi manusia yang baik di hadapan Tuhan, dalam urusan dunia aku juga harus paham dan mampu menelusuri keberadaan setiap hal ‘ghaib’ dalam urusan dunia. Karena dunia adalah tempat untuk ‘bercocok tanam’ kebaikan dan kemakmuran bagi manusia, maka aku juga harus paham ke ‘ghaib’an dunia. Aku harus paham bahwa setiap perbuatan ada unsur-unsur lain yang pengaruh-mempengruhi. Ketika aku beli satu sachet kopi instan, aku sadar aku sedang membeli keringat petani kopi, lelah badan buruh pertanian kopi, pengorbanan pengepul kopi, kepatuhan karyawan pabrik kopi, manajer pabrik kopi, pemilik saham pabrik kopi, pajak pertambahan nilai kemasan kopi dll. Dari demikian panjang pihak-pihak ‘ghaib’ yang terlibat, berapa rupiah kira-kira yang masuk ke kantong petani atau buruh kopi ? Ingat, buruh dan petani adalah pihak yang paling lemah sekaligus paling banyak jumlahnya di negeri ini. Kira-kira dari rupiah itu masyoritas masuk kemana ? Dari situ saja kita bisa paham kondisi petani dan buruh kita.

Anda mungkin bertanya buat apa aku mengetahui hal-hal seperti itu. Aku hanya belajar dari itu semua. Goal dari pembelajaran itu aku akan belajar ramah, simpati, mau menghibur dan menjadi tetangga yang baik bagi tetangga-tetanggaku yang kebanyakan petani. Itulah wilayahku. Jangan tanyakan regulasi, kebijakan pemerintah, anggaran Kementerian Pertanian dll. Itu semua akan kujawab kalau aku jadi Presiden atau Menteri.
Tapi, rasanya mustahil aku jadi salah satu dari dua itu.

____
Sore ini ada dua gelas di meja komputerku. Selain buku-buku, sebuah kamus, sebuah pensil berwarna oranye, satu set speaker aktif tua, 3 buah flash disk rusak dan sebuah flashdisk yang masih berfungsi; dua gelas itu menambah keramaian mejaku. Meja kompuerku memang tidak terlalu rapi. Aku juga jarang membersihkannya. Aku merapikan mejaku bukan dalam rangka kebersihan. Aku merapikannya sekadar membuktikan bahwa aku mau dan pernah membersihkannya.
Mungkin orang bilang aku pemalas. Aku memang pemalas sampai aku mau berbuat sesuatu. Pemalas hanya keadaan sementara. Bahkan kata ‘pemalas’ pun tidak berlaku tetap. ‘Pemalas’-ku bukan seperti ‘petinju’ dalam kata “Chris John menjadi petinju terbaik di Indonesia saat ini”. “Pemalas”ku seperti kata ‘pemukul’ dalam kata “Seorang pemukul artis diamankan polisi setelah artis yang bersangkutan melaporkan kawan satu band-nya itu ke Polres Jakarta Pusat”.

Stop soal malas.

Hari ini aku sudah menghabiskan 2 gelas kopi. Aku memang penikmat kopi. Kebetulan dua kopi yang hari ini kunikmati adalah kopi instan buatan pabrik. Artinya, dalam satu sachet kopi itu sudah ada krim dan gulanya.
Pkc# November 17, 2010

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons