Malam hari? Ketika bintang di langit bertaburan? Duduk
di atap rumah, secangkir kopi panas di meja sambil duduk lesehan dan laptop di
pangkuan? Sepertinya ini bukan pilihan bijak. Kalau kita tinggal di pinggiran
kota atau sedang di pedesaan, jam 9 malam sudah turun embun. Tentu tak nyaman
bila di tengah-tengah menulis layar laptop berair.
Siang hari? Di tengah-tengah pekerjaan yang menumpuk?
Tak mungkin rasanya. Kecuali, kalau hari minggu. Namun, hari minggu kan
waktunya keluarga? Masa 5/6 hari kerja,
hari Minggunya kerja lagi. Anak istri pasti demo bila anda bersibuk-sibuk ria
di hari minggu.
Atau kita ikuti saja gaya para pemusik? Tak ada
ketentuan kapan menulis. Yang kita lakukan hanya bawa sebuah buku saku kemana
pun kita pergi. Begitu ada ide langsung ditulis. Hanya butuh lima menit untuk
corat-coret ide. Namun, setelah sampai rumah. Buku saku dibuka lagi. Dan
ternyata ide dan mood sudah hilang. Pernahkah anda mengalami hal itu.?
Ada lagi cara “militer”. Sesuai dengan namanya, cara ini
butuh disiplin tinggi dan fokus seratus persen (kalau perlu lebih) pada tujuan
dan target yang kita tentukan. Dengan cara ini kita tentukan jam dan tempat
kita harus menulis setiap harinya. Misalnya, setiap jam 5 pagi kita harus
menulis. Maka, meskipun Merapi meletus atau Jakarta banjir, setiap jam lima
pagi anda harus menyibukkan diri menulis. Godaannya adalah ketika anda sedang
lelah, ngantuk atau sedang ada acara ke luar kota dimana anda bangun di tempat
berbeda dari biasanya dengan suasana berbeda pula. Mampukah anda?
Proses kreatif memang seperti mancing di selokan. Kadang
ada ikannya. Kadang tidak ada. Bahkan kadang yang ada cuma sampah bau. Tak
heran banyak orang melakukan hal-hal aneh demi ide kreatif. Ada yang mengguyur
kepalanya dengan es, ada yang melamun atau tidur di WC, ada yang mandiin
kucingnya baru dapat ide. Dan ratusan cara gila lainnya. Tapi, bagi saya adalah
dengan menjaga antusiasme. Antusiasme yang terjaga membuat ide akan dengan
nakal keluar dari batok kepala. Oleh karena itu, variasi kegiatan – kalau perlu
ekstrim – akan menjaga antusiasme kita dalam melakukan pekerjaan atau proses
kreatif yang kita cari-cari.
Dan ada satu jawaban yang amat kreatif. Menulislah hanya
ketika anda menginginkan untuk menulis. Sedikit menyederhanakan, tapi ada
benarnya juga. Bila anda sampai ngga ingin menulis, berarti menulis bukan pacar
sejati anda. Anda tidak mencitainya dan dia pun (menulis) tidak mencintai anda.
Sudah sepantasnya anda putuskan dia. Daripada pacaran anda tidak menghasilkan
sesuatu yang jelas. Ya, putuslah dengan dia. Ini demi kebaikan anda juga.
Karya-karya monumental
para penulis legendaris bertebaran di toko-toko buku. Sekian ribu orang
berusaha mengikuti jejak langkah mereka. Namun, para pengikut terjebak pada
proses kreatif. Mereka “mati” mencari cara beternak ide segar, teknik menulis
orisinil dan – tentu saja – kapan waktu yang tepat untuk menulis. Saran saya,
daripada kita “mati” jadi penulis karena kesulitan mencari ide atau gaya
menulis yang orisinil, lebih baik kita tak mencari apa-apa. Menulislah kalau
anda ingin saja dan suka melakukannya. Lebih baik tidak jadi apa-apa dalam
kebahagian, daripada “mati” untuk menggapai bintang yang terlalu tinggi.
Mungkin kalimat terakhir saya di atas agak sentimentil
dan pesimistis. Sekali lagi, saya tak mencari optimis atau menjauhi pesimis. I just
write it down. Bagus? Ikuti. Tidak? Biarkan saja. Toh kalimat itu tak merebut
apa pun dari saya dan anda bukan?