Elegi adalah cerita tentang kisah (biasanya cinta) yang sedih dan berisi curahan hati yang merana atau kehilangan yang mendalam. Sementara KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga tinggi negara yang (tentu saja) tugasnya memburu para koruptor, pelindung koruptor dan semua orang yang diuntungkan olehn tindakan merugikan negara dan masyarakat. Elegi dan KPK adalah dua kata yang jarang digunakan secara bersama-sama, karena kedua istilah tersebut berasal dari bidang yang berbeda. Elegi biasanya dipake para seniman, sastrawan, budayawan atau para pencipta lagu. Sedangkan KPK adalah lembaga tinggi negara yang sering disebut-sebut oleh para ahli hukum, politikus, pejabat negara dll.
Mengapa saya menyandingkan dua kata tersebut ?
Karena saat ini KPK sebagai lembaga sedang merana. Para pimpinannya sedang bermasalah dengan hukum. Dan menurut undang-undang, ketika pejabat KPK sedang bermasalah hukum mereka harus meninggalkan jabatannya. Tercatat empat orang pejabat KPK telah tidak aktif. Pimpinan KPK sekarang dipegang dua orang. Menurut Taufiqurrahman Ruqi, tanpa mengecilkan kapabilitas mereka, KPK perlu tembahan personel untuk menjalankan fungsi KPK secara maksimal.
Menurut saya, KPK telah dan sedang tertimpa 2 kesialan. 1) Personel KPK telah berkurang. Efeknya adalah kekuatan politis dan proses decision making yang dilakukan menurun kualitasnya. Kekuatan politis turun sebagai efek dari sikap POLRI yang berhadapan dengan KPK. Padahal seharusnya POLRI sebagai pendukung dan mitra. Sedangkan dari aspek decision making, 2 orang pengambil keputusan mendapat beban tambahan yang tentu saja akan mengurang stamina mereka. Dari aspek dinamisasi proses pengambilan keputusan juga menurun karena diskusi hanya terjadi antara 2 orang. 2) Opini bahwa POLRI di atas KPK tak terelakan. Kondisi seperti ibarat pasukan perang yang kelemahannya disebarluaskan oleh komandannya sendiri. Sekarang para koruptor tahu bahwa KPK bisa di “otak-otik” bila punya akses ke POLRI.
Mengapa saya menyandingkan dua kata tersebut ?
Karena saat ini KPK sebagai lembaga sedang merana. Para pimpinannya sedang bermasalah dengan hukum. Dan menurut undang-undang, ketika pejabat KPK sedang bermasalah hukum mereka harus meninggalkan jabatannya. Tercatat empat orang pejabat KPK telah tidak aktif. Pimpinan KPK sekarang dipegang dua orang. Menurut Taufiqurrahman Ruqi, tanpa mengecilkan kapabilitas mereka, KPK perlu tembahan personel untuk menjalankan fungsi KPK secara maksimal.
Menurut saya, KPK telah dan sedang tertimpa 2 kesialan. 1) Personel KPK telah berkurang. Efeknya adalah kekuatan politis dan proses decision making yang dilakukan menurun kualitasnya. Kekuatan politis turun sebagai efek dari sikap POLRI yang berhadapan dengan KPK. Padahal seharusnya POLRI sebagai pendukung dan mitra. Sedangkan dari aspek decision making, 2 orang pengambil keputusan mendapat beban tambahan yang tentu saja akan mengurang stamina mereka. Dari aspek dinamisasi proses pengambilan keputusan juga menurun karena diskusi hanya terjadi antara 2 orang. 2) Opini bahwa POLRI di atas KPK tak terelakan. Kondisi seperti ibarat pasukan perang yang kelemahannya disebarluaskan oleh komandannya sendiri. Sekarang para koruptor tahu bahwa KPK bisa di “otak-otik” bila punya akses ke POLRI.
---
Saat ini para pejabat KPK mungkin sudah tidak merindukan kembali kehadiran Antasari Azhar dll yang beberapa kali berhasil menangkap koruptor. Mereka sudah tak terkenang-kenang lagi dengan nostalgia masa lalu. Meski saat ini KPK tenang, saya yakin sekarang mereka tak merasa sekuat dahulu. KPK tak merindukan personal tetapi mereka merindukan kewibawaan dan kekuatan yang dulu ampuh dan bangga mereka miliki. Semoga.
0 comments:
Posting Komentar