Intifadah adalah cuma sebuah teriakan. Intifadah adalah perlawanan dari mereka yang bersembunyi di balik selembar kain yang ditutupkan ke wajah. Intifadah adalah perlawanan dengan topeng, kefayeh atau bukan.
Anak-anak Palestina itu, yang melemparkan batu ke tentara yang memegang bedil semiotomatis, mengenakannya rapat-rapat. Bapak dan Ibu mereka tak mengenakannya. Mereka pakai topeng yang lain: topeng sebagai warga kota yang tak berbahaya, tapi sebenarnya tak mau tunduk.
Seorang wartawan Israel yang lama menulis tentang Tepi Barat, dan menentang pendudukan Israel di sana, pernah saya dengar berkata: ”Sebagian besar dari proses intifadah justru bersifat tanpa kekerasan, malah tanpa batu: penduduk yang menolak membayar pajak dan tak mau buka toko. Mereka melawan tapi tak bisa jadi headline”.
Bukan headline, memang. Sebab perlawanan seperti itu berjalan tiap hari, terus menerus, seperti sesuatu yang rutin. Lama. Tanpa granat dan gerilya.
Mungkin karena abad ke-20 adalah abad kekerasan, tapi juga abad tanpa kekerasan. Yang kekerasan kita sudah tahu: dua perang dunia, dua bom atom, sekian kali pembantaian, beratus ribu penyiksaan di ruang interogasi. *Yang tanpa kekerasan nampak lebih jarang, tapi inilah yang istimewa dari abad ini: perlawanan sonder bedil ternyata bisa jadi perlawanan yang efektif. Gandhi menang di India (ketika menghadapi penjajahan Inggris), Martin Luther menang di AS (ketika menghadapi penindasan terhadap orang hitam). Bahkan selama setengah abad usaha pembebasan Palestina, gerakan dengan topeng dan batu ini kini ternyata lebih mengguncang lawan ketimbang teror Abu Nidal yang bunuh sana bunuh sini.
Kenapa? Barangkali karena ide heroisme tengah berubah. Heroisme bukan lagi seorang Archiles ataupun Arjuna – yang kata dalang ”ara tedhas tapak paluning pandhe”, itu – adalah contoh keperkasaan manusia, ketika senjata-senjata masih merupakan kelanjutan tangan dan juga bagian dari pilihan hidup seseorang.
Kini teknologi sudah lain: di satu pihak daya destruktif sebuah senjata kian besar, di lain pihak persenjataan sudah kian ”ke luar” dari pribadi seseorang. Pedang samurai sudah diganti bedil, pistol Colt sudah diganti Uzi. Tak perlu lagi seorang Arjuna bertapa, tak perlu seorang Musashi yang berlatih terus, juga tak perlu seorang *Wyatt Earp yang mahir, buat menguasai senjata. Siapa saja bisa pegang bedil semiotomatis dan membasmi puluhan orang dalam 5 menit. Pada dasarnya juga siapa saja bisa menekan tombol dan sebuah peluru kendali bermuatan nuklir akan menyerbu . . .
Rasa takut, ketidakpastian yang hitam itu, jadi sah, dan kontras antara yang kuat dan lemah kian mencolok. Maka kita tergetar melihat foto dari Beijing di musim panas itu: ketika seorang anak muda, sendirian, tanpa granat di tangan, berdiri mencoba menyetop puluhan tank yang mau menghajar para mahasiswa yang berdemonstrasi di Tiananmen. Memang, kemudian kita tak dengar lagi nasib si pemuda yang kurus dan sendirian menghadang kekuasaan besar itu. Yang kita dengar suara bedil. Tentara Pembebasan Rakyat menembak, dan ratusan anak muda gugur dan Tiananmen sepi kembali. Si lemah berani, tapi tak berhasil.
Ada yang mungkin mengatakan, bahwa Cina menolak sisi abad ke-20 yang memenangkan gerakan tanpa kekerasan itu. Di Cina orang hidup dengan kenangan tentang raja-raja yang saling gempur, jago silat dari Shaolin, dan ucapan Mao tentang kekuasaan yang lahir dari ujung bedil. Di sana orang tak atau belum memakai patokan kesadaran yang selama ini berlaku di negara-negara yang bersentuhan dengan Barat: patokan yang bermula ketika orang percaya bahwa Yesus disalib tanpa melawan, tapi dia tidak kalah ataupun bersalah.
Entahlah. Saya juga tak tahu akan menangkah nati anak-anak muda yang bertopeng kefayeh di Tepi Barat Kali Yordan itu – seperti anak-anak muda di Jerman Timur dan di Cekoslowakia pada musin dingin 1989 ini, yang cukup berteriak ke udara bersalju, dan rezim-rezim gugur secara enteng seperti daun-daun tua. Mungkin orang-orang bertopeng tak harus selalu cepat menang. Tapi tak berarti mereka menyerah.
Apa senjata mereka ? Weapons of the Weak, ”Senjata Kaum Lemah”. Judul buku James C. Scott yang cemerlang. Ia melukiskan bagaimana orang-orang miskin di sebuah dusun Malaysia menjalankan perlawanannya terhadap si kaya, sehari-hari, terus-menerus. Bukan dengan revolusi, bahkan bukan dengan batu. Tapi dengan cara mereka bersikap, bertutur, bertindak, mereka menampik hegemoni yang mau membisukan mereka.
Dan semesta sejarah sebenarnya penuh dengan ”senjata kaum lemah” itu. Mereka seperti patuh tapi sebenarnya tidak, bilang inggih tapi menolak untuk kepanggih. Nah, jika Tuan bilang orang desa itu suka kehidupan yang selaras, mungkin Tuan tak tahu permusuhan dan kepedihan apa yang sembunyi di balik topeng ”selaras” itu.
Goenawan Mohammad#16 Desember 1989