Di sebuah pabrik di Daratan Cina, ada tembok yang tak lagi dihiasi kutipan Mao. Sebaris kalimat lain yang kini terpampang : “Waktu adalah uang”. Di pasar Xao di Vientiane, Laos, yang sejak 1976 di bawah kekuasaan komunis, seorang saudagar kecil yang sekarang boleh berdagang dengan lebih leluasa berkata dengan kegembiraan yang berlebihan, “Kami sebebas di Amerika.”
Tidak sebebas itu tentu, cara pembangunan ekonomi yang dimulai oleh Stalin pada akhirnya macet. Ada masanya perencanaan yang sentralistis, dengan segala hal dikuasai negara, memang membuahkan pertumbuhan yang tinggi. Ada “pemerataan” – meskipun dengan catatan : para pemimpin partai mendapat privelese yang besar.
Tapi para birokrat yang harus memutuskan volume serta tujuan dari 24 juta produk yang satu sama lain berbeda-beda akhirnya toh pusing juga dan cenderung dan berlaku serampangan. Pertumbuhan GNP yang semula bisa mencapai 5% setahun dalam dasawarsa ini mengempis menjadi 2%. Dan Gorbachev pun ingin jadi juru selamat ketika menyerukan uskorenie atau akselarasi.
Ia tentu saja belum membiarkan orang macam Gekko hidup di Moskow seperti dalam film Wall Street, yang berseru bahwa “rakus itu bagus”. Gorbachev hanya mengaktifkan gerakan koperasi. Tapi para komunis garis-lama tahu bahwa koperasi itu ibarat serigala kapitalis yang berbulu domba sosialis – dan mereka sebenarnya tak begitu keliru: ada sekitar 14 ribu koperasi, dengan anggota sekitar 150 ribu di Uni Soviet yang hidup lebih nyaman ketimbang mereka yang bekerja di perusahaan negara.
Majalah The Economist pekan ini menulis bahwa di Uni Soviet koperasi sering dimusuhi para pejabat setempat dan pemimpin perusahaan negara, yang iri. Tapi Gorbachev kini menggariskan bahwa rasa iri tak boleh melahirkan permusuhan, melainkan persaingan. Beberapa ribu mil merah dari Kremlin, di Beijing, Cina, sebuah risalah di koran resmi Harian Rakyat juga menyimpulkan kekhilafan sosialisme: “Masyarakat sosialis tak dapat melenyapkan kompetisi”.
Bagaimana bila kompetisi itu akhirnya melahirkan yang menang dan yang kalah? Tak apa, kata Gorbachev. Tak apa, kata Harian Rakyat: dalam persaingan itu beberapa orang memang akan lebih dulu jadi kaya.
Orang akan bilang bahwa sosialisme yang tak bicara pemerataan bukanlah sosialisme. Tapi mau apa? Di Cina, tulis International Herald Tribun pekan lalu, peran ideologi memang sedang rontok. Dulu ideologi komunisme itu merupakan semacam panduan. Kini tampaknya ideologi yang sudah tua dan sempit dadanya itu yang harus terengah-engah mengejar perkembangan perubahan, untuk menyusulinya dengan sejumlah pidato pembenaran.
Memang waktu telah berlalu. Ketika memperingati 140 tahun Manifesto Komunis tahun ini, sebuah artikel di harian Guanming dengan terang menyatakan, “Marx dan Engels salah ketika mereka meramalkan bahwa kapitalisme akan surut dan sosialisme akan datang . . . .” Di Beijing ada contoh kesalahan Marx itu. Orang pernah dikutuk Mao sebagai “pengambil jalan kapitalis”, Deng Xiao Ping, kini memerintah dengan kukuh. Ia pernah mengatakan bahwa kucing boleh hitam boleh putih asala pandai menangkap tikus. Singkatnya: ideologi itu cuma soal kebutuhan.
Akhirnya komunisme memang bukan sejenis Roh Suci. Ia bisa salah dan ia bukannya sesuatu yang bisa terus-menerus membisikkan petunjuk kepada mereka yang beriman kepadanya. Ia bukan sesuatu yang kekal dan kuat sebagai inspirasi, terutama bila pusat-pusat inspirasi itu terbentur kesulitan besar: di Vietnam kini terjadi kelaparan. Di Polandia terjadi perlawanan buruh – justru di bawah kekuasaan yang mengatasnamakan kelas buruh.
Meka, seorang kenalan bertanya kepada saya: haruskah saya selalu bersikap gentar dan defensif terhadap satu kekuatan yang kini berpusar-pusar dengan segala isi kepala yang kemelut seperti itu? Haruskah saya membuat promosi gratis bagi PKI, dengan membayangkan bahwa sejumlah orang yang telah salah dan kalah di tahun 1965 di Indonesia itu kini tetap tangguh dan sakti bagaikan satria hantu yang bisa segala ilmu? Haruskah kewaspadaan akhirnya hanya ketakutan, dan akhirnya hanya kepanikan, dan akhirnya hanya kebingungan, dan akhirnya hanya pukul kanan pukul kiri?
Kenalan saya itu berkata, komunisme itu ide. Ia memang tak mati digertak dengan palu dan sepatu. Ia harus dilawan dengan ide dan sikap yang lebih baik. Kini saatnya: ide itu sedang rontok sebagai ide.
Jangan takut.
Dunia dan kenyataan memang berubah dengan cepat, terlampau cepat kadang-kadang bagi orang yang tersumbat jiwanya di masa lampau.
11 Juni 1988
2 comments:
ideo;ogi jalan tengah gimana,bung?
salam
anda definisikan dulu apa itu ideologi...
br sy akan jwb
Posting Komentar